REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Standar bimbingan haji memberikan bekal mendasar bagi para jamaah menuju kelancaran beribadah.
Seorang calon jamaah haji, dituntut memiliki pemahaman dan kemampuan praktik haji. Hal itu terkadang terkendala dengan beragam faktor antara lain, minimnya pengetahuan yang bersangkutan perihal manasik dan hal ihwal yang berkaitan dengan prosesi haji.
Dan, acap kali kerap muncul kegamangan dan kebingungan di tengah-tengah jamaah soal manakah tata cara haji yang bisa dijadikan sebagai acuan berhaji
Di sinilah, kata Ketua Forum Komunikasi KBIH Qasim Shaleh, peran Kelompok Bimbingan Haji (KBIH). Selama lebih dari sembilan tahun, KBIH berperan membantu pemerintah dalam pembimbingan jamaah haji. Ini sesuai dengan amanat UU No 13 2008 tentang Penyelenggaraan Haji.
Ia mengakui, tak semua jamaah memiliki pemahaman yang memadai menyangkut manasik dan hal ihwal haji. Terlebih latar belakang mereka juga tak kalah beragam. Para calon jamaah haji datang dari kalangan yang berbeda-beda. “Ini menjadi tantangan tersendiri, “katanya kepada Republika, pekan lalu.
Membaca situasi tersebut, ungkapnya, KBIH yang tergabung dalam Forum Komunikasi KBIH (FK-KBIH) berupaya maksimal untuk memberi edukasi kepada para jamaah. Di antaranya melalui perumusan standar bimbingan bagi para calhaj.
Beberapa butir penting dari standar itu, lanjutnya, ialah materi yang disampaikan mesti memenuhi tiga unsur utama, yaitu materi dasar, pokok, dan penunjang. Materi dasar meliputi antara lain tata cara tayamum, wudhu, atau shalat jamak.
Sedangkan materi inti, tentunya menyangkut haji itu sendiri, di antaranya rukun dan syarat haji. Untuk materi penunjang bisa berupa informasi keselamatan dalam perjalanan. Materi-materi tersebut harus disampaikan minimal 15 hari.
Ia menyadari, edukasi itu seharusnya tak sekadar teori di atas kertas, tetapi juga praktik di lapangan. Masih banyak jamaah yang bingung praktik secara riil selama di Tanah Suci. Ia menyebut misalnya shalat jenazah untuk perempuan, keberagaman mazhab, dan pelaksanaan sujud tilawah.
Ketua Umum Rabithah Haji Indonesia (RHI) Ade Marfuddin, menilai positif keberadaan KBIH untuk memberikan pemahaman kepada jamaah haji. Hanya saja, ia mencatat ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan.
Di antaranya, KBIH harus memaksimalkan masa tunggu calhaj tersebut sebagai peluang untuk mempersiapkan jamaah haji yang lebih mandiri. Ini mesti didukung dengan pemberian materi yang lebih luas dan komprehensif. “Tidak hanya saat berhaji, tetapi juga sebelum,” katanya.
Ia menyayangkan, tak semua KBIH memiliki standar bimbingan yang sama. Sekalipun sebagian KBIH yang tergabung dalam asosiasi memiliki standar itu. Jika jumlah mereka ratusan, maka masih terdapat ribuan lagi KBIH yang belum mengantongi standar itu.
Acuan sertifikasi itu, katanya, alangkah lebih baiknya ditetapkan oleh pemerintah. Jangan sampai memunculkan benturan antara satu kelompok dan kelompok yang lain. Fakta di lapangan menguatkan kekhawatiran itu.
Perbedaan tata cara beribadah kerap memunculkan gesekan. Sebagai contoh, mayoritas jamaah akan berhaji tamattu. Ketentuan haji jenis ini lebih dekat dengan mazhab Syafii.
Sekiranya pemerintah memberlakukan standar itu, bukan berarti mazhab yang lain dianulir. Di sinilah, mestinya peran KBIH berada. KBIH bukan sekadar memungut biaya tanpa optimalisasi bimbingan kepada jamaah. “Poin ini harus diperhatikan,” katanya.
Pengamat haji, Subarkah, mengatakan, standar bimbingan itu bagaimanapun sangat diperlukan. Berdasarkan pengalaman di Tanah Suci, tugas tersebut justru kurang terlihat dari KBIH.
Ia menggarisbawahi, bimbingan materi itu bukan sekadar pemberian materi yang berkaitan dengan ibadah saja. Namun, juga harus menyangkut pemberian bekal agar para jamaah mandiri selama berada di Tanah Suci. Seperti penggunaan air, pendidikan agar tidak tersesat, dan lain sebagainya. “Jangan fokus (hanya) pada syariat,” katanya.