Senin 03 Mar 2014 18:35 WIB

Setop Perbudakan!

Rep: Andi Mohammad Ikhbal/ c54/ Red: Karta Raharja Ucu
Perbudakan (Ilustrasi)
Foto: AFP
Perbudakan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kekerasan dalam lingkungan rumah tangga kembali terjadi. Kali ini, praktik kasar manusia terhadap sesamanya terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat, dengan korban 16 pekerja rumah tangga. Kasus ini mencuat lebih cepat dari yang lainnya lantaran pelakunya adalah istri seorang pensiunan petinggi Mabes Polri.

Cerita bermula pada 13 Februari 2014 ketika Yuliana Lewier (17 tahun), pembantu keluarga Brigjen (Purn) Mangisi Situmorang, mantan kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Mabes Polri, berhasil melarikan diri dari kediaman majikannya. Kepada pihak kepolisian, dia mengaku menjadi korban kekerasan majikan perempuannya, Mutiara Situmorang, istri Brigjen Mangisi. Didampingi sebuah lembaga bantuan hukum, Yuliana meminta perlindungan.

Yuliana mengaku kerap mendapat siksaan, seperti ditampar, dicakar, dan hingga dipukuli. Biasanya, hal itu dilakukan sang majikan ketika dia melakukan kesalahan sewaktu bekerja. Menurut pengakuannya, 15 temannya juga bernasib serupa kerap mendapat siksaan dari sang majikan. Menindaklanjuti laporan Yuliana, pihak Kepolisian Resor Kota Bogor kemudian mengusut kasus tersebut.

Pada Selasa, 25 Februari 2014, Mutiara resmi ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar Pasal 2 UU Perdagangan Orang, Pasal 44 UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan Pasal 80 UU Perlindungan Anak. Atas sejumlah dugaan pelanggaran tersebut, Mutiara terancam hukuman dengan kurun waktu bervariasi, dari mulai 3,5 hingga 15 tahun kurungan. Kendati telah ditetapkan sebagai tersangka, banyak pihak heran Mutiara belum juga ditahan. Alasan pihak kepolisian, yang bersangkutan bersikap kooperatif.

Pegiat LSM Rifka Annisa, Fitri Indra, berharap, aparat penegak hukum tidak pandang bulu dalam menegakkan aturan. Menurut dia, persepsi masyarakat hukum tumpul terhadap petinggi TNI dan Polri harus segera diklarifikasi. Namun, Fitri mengapresiasi kehadiran Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di dalam instansi kepolisian. “Kehadiran UPPA bagus, kemarin saya mengikuti kasusnya, unit tersebut sudah bekerja. Tinggal ketegasan pimpinan kepolisian saja,” ujar Fitri kepada ROL, Kamis (27/2).   

Fitri berpendapat, kasus KDRT yang dilakukan istri jenderal hanya fenomena puncak gunung es. Menurut dia, hari ini praktik KDRT terjadi dalam berbagai lapisan sosial. “Berdasarkan data klien yang kami tangani, KDRT hari ini terjadi di mana saja dan melibatkan siapa saja, di kota, di desa, orang miskin, orang kaya, lulusan S-3, atau yang tidak sekolah, bisa terlibat dalam praktik KDRT,” kata dia.

Data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menyebutkan, 65 persen dugaan kasus penganiayaan terhadap PRT tidak ditindaklanjuti kepolisian. Koordinator Advokasi Jala PRT, Ali Akbar, berpendapat hal tersebut salah satunya disebabkan oleh lemahnya regulasi. Karenanya, Ali mendorong agar UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU Perlindungan PRT) segera dilegalisasikan.

Menurut Ali, DPR harus lebih bersungguh-sungguh merumuskan perundangan yang digagas sejak 2007 tersebut, terlebih UU tersebut masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). “Bagaimana negara ini mau melindungi TKI di luar kalau PRT di dalam negeri sendiri tidak terurus dan tidak punya payung hukum,” ujar dia.

Pegiat Jala PRT, Mira Milasari, menambahkan, pihaknya mencatat, dari 10 juta PRT yang diperkirakan ada di Indonesia, 40 persennya merupakan pekerja anak. Dari hasil survei yang dilakukan, sekitar 42 persen dari para PRT anak tersebut menjadi korban pelecehan seksual. Selain itu, Mira menerangkan, dari sekitar 1.200 penyalur PRT yang ada, 40 persen dianggap bermasalah dan melakukan pelanggaran.

Kasus Mutiara Situmorang, sang istri jenderal, kini masih ramai diperbincangkan. Dalam perkembangan terakhir, keluarga dan tim hukumnya kini tengah mengadu kepada Komnas HAM. Diberitakan, Mutiara merasa diperlakukan tidak adil di hadapan hukum. Alasannya, tindakannya mempekerjakan 16 PRT di rumahnya tak lain karena belas kasihan.

Berdasarkan pengakuan para korban, hampir semua direkrut dari Terminal Pulogadung, Jakarta Timur. Ketika itu, umumnya mereka sedang bingung dan terlunta-lunta setelah meninggalkan pekerjaan lama mereka. Di tengah kebingungannya, mereka ditawari pekerjaan di rumah sang jenderal oleh seorang agen pencari tenaga kerja, yang diakui Mangisi Situmorang sebagai kenalannya.

Yuliana Lewier, misalnya. Perempuan asal Kepulauan Aru, Maluku, yang menjadi aktor utama dalam pengusutan kasus itu mengaku sempat menggelandang di Pulogadung bersama sang ibu. Hal itu diceritakannya terjadi setelah keduanya berhenti bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit di Lampung.

Yuliana beserta sang ibu, Marlinda, kemudian diajak bekerja dengan tawaran gaji Rp 800 ribu per bulan. Tergiur dengan iming-iming tersebut, Yuliana pun lantas diantar ke Bogor, ke rumah keluarga Situmorang, di Perumahan Duta Pakuan, Jalan Danau Mantana, C5/18, Kota Bogor. Sementara itu, Marlinda, sang ibu, dikirim ke Sumatra Utara untuk merawat mertua Mangais yang sudah tua.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement