REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Enggak kurang lagi, Bang. Jigo (Rp 25 ribu-Red) udeh mentok. Muternya jauh soalnya," kata Zaki (45 tahun) meyakinkan seorang calon penumpang yang mencoba menawar tarif bajaj yang dikendarainya.
"Mending gue naik taksi, adem," jawab si calon penumpang menggerutu sembari menyetop angkot.
Kisah itu diceritakan Zaki sembari menyeruput kopi tubruk miliknya saat berbincang dengan ROL di sebuah warung kopi di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan, Sabtu (1/3). Zaki adalah satu dari ratusan sopir bajaj berwarna merah yang masih bertahan di DKI Jakarta. Ia mengaku, sudah 25 tahun mengemudikan kendaraan beroda tiga itu. Bajaj itu merupakan warisan dari ayahnya yang sudah 10 tahun meninggal dunia.
Warga asli Betawi itu mengaku tidak memiliki keahlian lain selain menyopir bajaj. Ia mengaku menyesal karena dulu sempat menolak melanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi. Padahal, dulu ayahnya terbilang mampu. Tapi, kenakalan saat remaja ternyata menyengsarakannya. "Kalau saya sarjana, paling enggak saya pan bisa kerja kantoran kayak Abang," ucapnya sembari tersenyum getir.
Di mata Zaki, bajaj adalah separuh hidupnya. Ayah tiga anak itu mengaku tidak tahu harus bekerja apa jika nanti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melarang bajaj beroperasi di wilayah Ibu Kota.
Pemprov DKI memang belum meminta kendaraan dari India itu berhenti beroperasi. Tapi, rute bajaj semakin dipersempit, sehingga tidak boleh masuk ke jalan-jalan protokol. Bajaj semakin terpinggirkan. "Semakin lama, bajaj pasti berlalu. Tinggal tunggu waktu saja. Apalagi, sekarang kami kalah bersaing dengan angkot, ojek, sampai Transjakarta," ujar Zaki yang mengaku bisa membawa pulang uang 50-100 ribu sehari.
Liling (44 tahun), rekan seprofesi Zaki, berharap, Pemprov DKI memberikan para sopir bajaj merah subsidi agar bisa membeli bajaj biru yang berbahan bakar gas. Saat ditemui ROL di Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Liling mengaku, tidak memiliki uang untuk membeli bajaj biru seharga Rp 70 juta yang dikatakan lebih ramah lingkungan.
"Sampai sekarang, saya belum mengganti bajaj merah ini dengan bajaj biru karena tidak sanggup dengan biayanya. Apalagi, bajaj merah ini sudah menjadi milik saya sendiri," ujar dia.
Permintaan Liling bukan tanpa sebab. Alasannya, Pemprov DKI gencar mengimbau agar para sopir bajaj merah beralih menjadi sopir bajaj biru. Tapi, kata Liling, lantaran mentok di masalah harga, banyak sopir bajaj merah yang bertahan dengan bajaj merah yang harganya sekitar Rp 20 juta.
"Saya dengar dari berita-berita di televisi, pemerintah bilang kita wajib mengganti bajaj merah dengan bajaj biru. Katanya, akan ada kemudahan-kemudahan bagi pemilik bajaj biru, tapi nyatanya masih berbelit-belit prosesnya," tutur Liling.
Liling mengaku, bersedia mengganti bajaj merah miliknya dengan bajaj biru. "Tapi, ya itu, jika ada subsidi dari pemerintah. Tapi, nyatanya kami harus menyerahkan bajaj merah dan membeli bajaj biru dengan uang sendiri. Sama saja kami harus membayar Rp 90 juta," ucap dia yang mengaku belum ada tawaran kepadanya untuk menjadi pengemudi bus Transjakarta.
Mudi Iswoyo (50) sopir bajaj lainnya di Pasar Baru mengaku belum pernah diminta Pemprov DKI memensiunkan bajaj merah miliknya. Mudi justru merasa senang jika ada instruksi dari pemerintah untuk mengganti bajaj merah miliknya dengan bajaj biru. "Sebab, bajaj biru lebih menguntungkan untuk cari uang daripada bajaj merah. Biaya bensin juga lebih irit."