Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Banyak pantangan yang harus dijalani seorang penari sufi. Tentu saja, selain larangan-larangan syariah juga harus memelihara muruah dan ketawadhuan
Pertengahan 2013, penulis sedang berada di Konya, Turki, yang lebih dikenal sebagai pusat tarian sufi (Whirling Darwishes) Shema bersama rombongan jamaah Pengajian Tasawuf Paramadina. Tarian sufi (Shema) sesungguhnya bentuk zikir yang diiringi alunan musik dan tari memutar searah dengan putaran thawaf mengelilingi Ka’bah.
Shema tiga tahun terakhir ini semakin populer di Indonesia dengan dibukanya padepokan Shema di beberapa tempat, khususnya di Jakarta. Shema sudah mendapatkan pengakuan internasional, UNESCO, pada 2005 sebagai “The Mevlevi Ceremony of Turkey, The Masterpices of The Oral and Intanngible”. Shema sudah lama menjadi ciri khas Konya, kota warisan kemanusiaan.
Tarian sufi Sema merupakan ungkapan rasa cinta yang amat mendalam di dalam hati kepada Sang Kekasih sehingga sang pencinta dan Yang Dicintai seolah-olah menyatu, larut, dan hanyut seiring dengan alunan musik yang diiringi tarian.
Alat-alat musik yang dominan adalah seruling bambu. Sebuah seruling bambu dapat menghasilkan bunyi yang merdu jika di dalamnya terbebas dari sumbatan.
Sama dengan kalbu, tidak akan melahirkan kesucian jika di dalamnya terdapat kotoran dan hanya dengan kalbu yang bening yang dapat berjumpa (liqa) dengan Tuhan. Bunyi gendang atau tambur diilustrasikan sebagai perintah suci (divine order) “Kun=jadilah”, maka ciptaan suci menyerupai sang Mahasuci terjadi.
Syair-syair dalam lagu diawali dengan pujian terhadap Rasulullah (Nat-i Serif) sebagai lambang cinta sejati, sebagaimana pula nabi-nabi sebelumnya.
Memuji mereka berarti memuji Tuhan yang menciptakan mereka. Keseluruhan paduan indah irama musik, lagu, dan gerakan lembut yang berputar merupakan per sembahan suci (ta’dzim) yang kemudian menghasilkan napas suci (The Divine Breath) dalam kehidupan ini.
Kombinasi pakaian yang terbentuk dari bahan putih kemilau semula dibungkus dengan bahan berwarna hitam-gelap. Setelah satu persatu melakukan sungkeman (tawajjuh) kepada seorang syekh yang didampingi seorang mursyid, para penari yang umumnya berjumlah 25 orang duduk membanjar di sebelah kiri syekh.
Sambil musik mengalun, perlahan-lahan mereka melepaskan jubah hitam, sebagai simbol pelepasan segala dosa dan maksiat dan yang tertinggal adalah warna putih.