REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Balai Arkeologi Ambon akan meneliti jejak perkampungan kuno di Pulau Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, pada 11 Maret 2014.
"Kami akan membuat survei lanjutan mengenai situs-situs kepurbakalaan, terutama mengenai pemukiman kuno masyarakat di bagian utara Pulau Tanimbar," kata Arkeolog Balai Arkeologi Ambon Marlon Ririmase, di Ambon, Selasa (4/3).
Ia mengatakan umumnya pemukiman masyarakat tradisional di Pulau Tanimbar berpindah-pindah di sekitar daerah perbukitan, namun di era penjajahan Belanda, orang-orang Tanimbar dipindahkan ke pesisir.
Kebijakan pasifikasi yang dibuat oleh pemerintah kolonial di abad ke-19 hingga awal abad 20, mengharuskan masyarakat tersebut meninggalkan pemukiman awalnya untuk selamanya. "Mobilitas mereka cukup tinggi, kebijakan pasifikasi dengan memindahkan masyarkat ke pesisir dengan alasan agar lebih beradab sebenarnya lebih bersifat politik supaya lebih mudah dikontrol," katanya.
Lebih lanjut Marlon mengatakan pemukiman kuno masyarakat Tanimbar dapat dideteksi dengan adanya Natar atau monumen perahu batu yang menjadi simbol religius masyarakat tersebut.
Dalam konsep tata ruang masyarakat Tanimbar, Natar menjadi pusat komunal masyarakat kuno Tanimbar, dan umumnya dibangun di tengah-tengah pemukiman. "Natar merupakan simbol representatif dari simbol-simbol religius masyarakat tradisional di Tanimbar, bentuknya seperti perahu pada umumnya tapi di tiap ujungnya ada patung," katanya.
Ia menambahkan sejauh ini sudah ada tujuh buah situs monumen perahu batu yang ditemukan di Pulau Tanimbar, yakni di Yamdena, Sangliat Dol, Aruibab, Rolulun, Hatubul dan Wermatang. Rata-rata Natar yang berhasil ditemukan oleh arkeolog sudah mengalami kerusakan.
"Biasanya di atas Natar itu ada patung-patung tapi saat kami temukan sudah punah, hanya di Yamdena yang masih ada, berdasarkan budaya tutur, Natar itu usianya dua abad ke belakang," ujarnya.