REPUBLIKA.CO.ID. Oleh: Nashih Nashrullah
Fenomena tereduksinya nilai-nilai kepantasan dan kesantunan dalam bertutur kata pernah berlangsung pula di era salaf.
Jika pada masa lalu, tak mengenal umbar kata lewat perangkat atau ponsel pintar dan sosial media, ketika itu marak pula pengucapan-pengucapan bahasa yang kurang elok.
Fakta ini pula yang mendorong Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ubaid Ibnu Abi ad-Dunya mengarang kitab yang berjudul Hasan as-Samat fi as-Shomat. Kitab ini menekankan pentingnya menahan diri, jika perlu diam, dari segala tutur kata yang tak patut.
Sosok kelahiran Baghdad pada 210 H itu meluapkan bentuk keprihatinannya lewat sebuah karya tulis yang terabadikan hingga kini.
Ia berharap, melalui karyanya itu tercipta kondisi dan tabiat umat yang saleh serta berpegang teguh pada prinsip-prinsip keislaman yang lurus.
Namun sayang, keutamaan diam ini tidak dilakukan oleh kebanyakan orang. Padahal, di balik sikap diam yang proporsional—berbicara ketika dibutuhkan soal kebaikan—terdapat segudang hikmah.
“Hanya sedikit pelakunya,” demikian sabda Rasulullah dalam hadis riwayat Anas bin Malik yang dinukil oleh Ibn 'Addi, Baihaqi, dan Qudha'i.
Inilah salah satu alasan mengapa Rasulullah SAW menganjurkan agar diam dan menjaga lisan yang proporsional disosialisasikan dan ditradisikan di tengah masyarakat.
Seseorang—dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud—mendatangi Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang paling ditaati di kaumku, perintah apa yang layak aku serukan ke mereka?” Rasulullah menjawab, “Serukan mereka menebar salam dan sedikit bicara kecuali berkaitan dengan perkara yang bermanfaat.”
Dalam kitab yang merupakan ikhtisar karya as-Suyuthi itu mengungkapkan beberapa keutamaan diam yang pertama kali disebutkan dalam ringkasan Suyuthi adalah diam merupakan kunci keselamatan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Turmudzi, Baihaqi, dan Darimi, dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang memilih (diam) akan selamat.”
Hadis ini dikuatkan dengan riwayat lain dari Anas bin Malik. Rasulullah menegaskan, barang siapa yang ingin selamat dunia akhirat, hendaknya ia tidak mengumbar kata-kata dari lisannya. Menjaga lisan dengan tidak banyak bicara adalah aktivitas yang paling ringan. Namun, memiliki perhitungan yang cukup besar di sisi-Nya.
Rasulullah pernah memberikan wasiat kepada Abu Dzar. Dalam wasiat itu, Rasulullah menegaskan, “Aku berwasiat untukmu agar berakhlak baik dan tidak banyak bicara. Keduanya adalah amalan yang paling ringan untuk dilakukan oleh tubuh. Tetapi, dua hal itu nilai pahalanya akan memberatkan timbangan perbuatan kelak di akhirat.”
Karena itulah, menjaga lisan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia. Penegasannya terdapat dalam hadis Abu Hurairah. Diam juga menjadi identitas yang membedakan kualitas dan kepribadian seseorang.
Sebuah riwayat dari Abu Abdullah bin Muhriz bin Zahir al-Aslami menegaskan, diam adalah perhiasan bagi mereka yang berilmu dan kamuflase bagi orang yang bodoh. Karena itulah, diam adalah pamungkas akhlak, demikian ditegaskan Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik.
Diam, seperti yang dikemukan di berbagai riwayat di atas, merupakan etika yang sangat dianjurkan. Lantas, apakah ini berarti seseorang dilarang berbicara? Tentu saja tidak. Berbicaralah, tetapi membicarakan kebaikan. Dan, berdiamlah bila menyangkut keburukan atau topik-topik yang tak patut dibicarakan.
Suatu saat, seperti diriwayatkan Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bepergian bersama Mu'adz bin Jabal. Dalam perjalanan itu, sahabat yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam hukum itu bertanya kepada Rasulullah, “Amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawabnya dengan memberikan isyarat menujuk ke bibirnya, “Diam, kecuali dari (hal) kebaikan.”
Lalu, apakah hikmah di balik tuntunan yang diserukan Rasulullah untuk berdiam kecuali dalam hal kebaikan? Riwayat lain yang dinukil dari sahabat Abu Dzar mengungkapkan maksud dan manfaat yang bisa diambil dari etika ini.
Sikap diam dan berbicara hanya terkait dengan perkara yang baik bisa membantu seseorang menghindari godaan setan dan membantu menjaga agamanya. Selain itu, diam dengan pengecualian seperti ini merupakan bentuk dari kebijaksanaan.
Karena itu, Rasulullah menyebutkan di hadis riwayat Abu Hurairah bahwa kebijaksanaan itu terdiri atas 10 bagian. “(Sebanyak) sembilan darinya berasal dari mengasingkan diri ('uzlah). Sedangkan, satu lagi terdapat di sikap diam.”
Merasa penasaran, seorang salaf yang bernama Wahib bin al-Ward pernah mempraktikkannya. Ia sudah mencoba diam dan tidak banyak berbicara, tapi masih saja gagal. Ternyata, diam saja tak cukup. Sikap itu harus ditopang dengan ber-‘uzlah. Akhirnya, usahanya pun berhasil.
Tuntunan untuk diam dan menjaga lisan ini pun disebarluaskan oleh para sahabat. Mereka saling berwasiat agar tidak sembarangan bicara.
Seorang laki-laki pernah meminta wasiat kepada Sa'id al- Khudri. Permintaan itu pun akhirnya dikabulkan. Said al-Khudri berkata, “Berdiamlah kecuali tentang kebenaran. Dengan sikap itu, maka engkau akan mengalahkan setan.”