Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Kita sering menemukan kekeliruan ganda di dalam masyarakat tentang konsep wahdatul wujud (WW) atau the owness of being.
Kekeliruan pertama, sering dipahami sebagai sebuah konsep yang menggambarkan bahwa Allah SWT dan makhluknya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Jika kita berbicara tentang Allah sebagai Sang Khalik maka berarti kita mesti bicara tentang makhluk.
Dengan kata lain, antara makhluk dan Sang Khalik menyatu menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar meskipun juga tidak sepenuhnya salah.
Kekeliruan kedua, konsep ini sering dipersepsikan dengan konsep yang digagas oleh Ibnu Arabi, padahal penelitian sementara penulis terhadap beberapa karyanya, ia tidak pernah menggunakan konsep tersebut, tetapi ia lebih memopulerkan konsep al-Haq dan Khalq, atau dengan kalimat teknisnya “kesatuan dari keserbameliputan” (ahadiyyah al-jam'/the unity of all-comprehensiveness) dan jam'iyyah al-Ilahiyyah.
Ibnu Arabi tidak pernah menggunakan konsep WW. Para peneliti karya-karyanya, seperti Sa'id ad-Din Fargani, sering menggunakan kata wahdatul wujud sebagai simplifikasi atau bahasa teknis dalam menjelaskan kesatuan dan relasi al-Haq dan al-khalq, wujud, jauhar, dan aradh yang sedemikian rumit itu.
Konsep WW juga sering dirancukan dengan konsep ittihad (mystical union), hulul (incarnationism), dan manunggaling kawula gusti. Konsep ittihad (seakar kata dengan kata wahid dan tauhid) diperkenalkan oleh Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan yang lebih dikenal dengan Abu Yazid al-Busthami (188-261H/874-947M).
Ittihad adalah suatu maqam sufi yang paling tinggi, di mana seseorang merasakan dirinya bersatu dengan Tuhan. Ia sudah merasakan puncak yang bukan hanya berjumpa (liqa') tetapi sudah menyatu (ittihad) dengan Tuhannya.
Ia merasakan antara yang mencari dan yang dicari, antara yang mencintai dan yang dicintai, sudah menjadi satu. Begitu indahnya penyatuan ini sehingga salah satu di antaranya bisa saling memanggil, “Ya Ana! (Hai Aku!).”
Juga dapat dianalisa lewat pernyataannya, “Aku bermimpi melihat Tuhan. Aku pun bertanya, Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan dirimu dan datanglah.”
Untuk sampai kepada maqam ittihad, menurut Abu Yazid, terlebih dahulu harus melewati suasana fana' dan baqa'. Fana' ialah perasaan hancur atau hilangnya diri sendiri (disappear, perish, annihilate).
Penghancuran dan perasaan lenyapnya diri tersedot masuk ke dalam “diri” Tuhan lalu muncul suasana batin yang disebut dengan baqa', yakni suasana keabadian batin yang merasa terus hidup (remain, persevere).