REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada dugaan pelarangan penggunaan jilbab di sejumlah sekolah di Bali dilakukan masif dan terstruktur. Sebab mayoritas kepala sekolah yang didatangi selalu berlindung di balik aturan sekolah dan menunggu izin dinas pendidikan.
Wakil Sekjen PB PII, Helmy Al Djufri menyebutkan ada 40 sekolah yang terdata melakukan pelarangan jilbab, baik lisan maupun tulisan. PII sendiri baru memberikan data 31 sekolah dan sembilan sekoah sisanya masih dalam proses peninjauan.
Rata-rata sekolah melarang secara lisan. Sekolah yang membolehkan umumnya sekoah swasta Islam. Data dikumpulkan PII sejak Oktober 2013 hingga Maret 2014.''Karena banyaknya sekolah yang melarang, pertaannya sekarang bukan sekolah mana yang melarang, tapi mana yang membolehkan?,'' ungkap Helmy Al Djufri.
Helmy menyampaikan jumlah bukan poin utama kasus jilbab ini karena walaupun hanya satu, itu akan tetap jadi sorotan dan harus diperjuangkan. Selama ini, jika siswi SMP Muslim ingin tetap berjilbab saat SMA harus pindah, mereka harus pindah sekolah ke Jawa.
Setiap tahun pun PII melakukan advokasi hanya bagi siswi Muslim yang ingin berjilbab di sekolah. PII berharap ada tim investigasi dari Kemendikbud yang mengecek langsung ke lokasi. Mereka juga menyayangkan tidak semua sekolah negeri mempunyai guru pendidikan agama Islam.
Kepada Direktur Pembinaan SMA Kemendikbud dan Komnas HAM, PII menyerahkan masing-masing satu bundel dokumen berisi laporan PII Wilayah Bali dan tim advokasi dari sejak Oktober 2013hingga Februari 2014, draf perkara jilbab SMAN 2 Denpasar, skema gerakan jangka pendek tim advokasi dan kumpulan berita pelarangan jilbab di Bali.
Terpisah dari bundel, mereka juga memberikan daftar sekolah yang melarang jilbab, kliping berita media lokal dan hasil advokasi kasus jilbab 2002.
Pada 2002 lalu, seorang siswi satu SMP negeri sempat memperkarakan jilbab hingga ke pengadilan, namun kalah. Sampai saat ini PII masih memantau izin jilbab di sekolah itu. PII berharap izin jilbab bisa berlaku di Bali sebelum penerimaan siswa baru Mei mendatang.
PII menekankan jibab diperjuangkan sebagai hak dasar keyakinan dan tidak dikaitkan dengan SARA. PII menyayangkan adanya pemberitaan media lokal yang tidak berimbang.