REPUBLIKA.CO.ID, Begitu juga sebaliknya, Rasulullah SAW dengan gamblang mengancam siapa pun yang tidak mengikuti sunahnya (termasuk di dalamnya menikah) sebagai keluar dari golongannya.
Demikian ketegasan Rasulullah saw tercermin dalam hadis: “…tetapi aku, sesungguhnya aku shalat, tidur, berbuka dan mengawini perempuan, maka barangsiapa yang benci sunahku maka ia bukanlah dari golonganku.”
Kedua hadis ini menjelaskan posisi pentingnya sebuah pernikahan bagi seorang. Sehingga Rasulullah sendiri membuat anjuran sekligus ancaman. Oleh karena itulah pacaran dengan arti meminang atau melamar dalam upaya mencari kesepahaman demi menuju jenjang pernikahan dalam Islam dibolehkan.
Karena kesempatan seorang Muslim memandang muka dan telapak tangan perempuan lain bukan muhrim hanya dalam momen khitbah, tidak pada saat yang lain. Demikian keterangan dalam At-Tahdzib fi Adillati Matnil Ghayah wat Taqrib.
Keempat (dari tujuh macam pandangan laki-laki terhadap wanita) melihat untuk maksud menikahi. Diperbolehkan memandang muka dan telapak tangannya.
Demikian Rasulullah SAW juga mengajarkan perlunya perkenalan dan menganjurkannya walau dalam waktu yang singkat sebagaimana pengalaman al-Mughirah bin Syu’bah ketika meminang seorang perempuan, maka Rasulullah berkomentar kepadanya: “Lihatlah dia (wanita itu), sesungguhnya melihat itu lebih pantas (dilakukan) untuk dijadikan lauknya cinta untuk kalian berdua.”
Oleh karena itu, segala macam bentuk pacaran tidak dapat dibenarkan kecuali jika pacaran yang bermakna khitbah yang membolehkan seorang lelaki hanya memandang muka dan telapak tangan perempuan, tidak lebih. Artinya tidak melebihi dari muka dan telapak tangan, tidak melebihi saat khitbah, dan juga tidak melebihi dari memandang itu sendiri.