Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Saat ini, kitab yang ditulis Gulbadan masih tersimpan. Dan, satu-satunya dokumen yang tersisa yang ditulis oleh wanita terhormat dari abad ke-16.
Sayangnya, dokumen tersebut ditemukan tidak terawat dan banyak halaman yang hilang, terutama dalam bab-bab terakhir. Dalam dokumen tersebut, juga berisi kisah hidup mengenai Gulbadan.
Selain dikenal penulis nonfiksi yang andal, Gulbadan juga lihai merangkai kata. Dia juga pandai menulis puisi, seorang penyair. Sayangnya, tak satu pun kumpulan puisinya terabadikan hingga kini.
Kecuali, dua bait syair yang terdapat dalam kompilasi kasidah Kaisar Bhadur Shah Zafar serta beberapa referensi oleh Mir Taqi Mir. Secuil peninggalannya itu cukup menggambarkan tentang kualitas perempuan di era Mughal.
Bunga mawar
Gulbadan Begum dalam bahasa Persia berarti tubuh seperti bunga mawar. Gulbadan Begum berdarah Persia dan Turki. Dia terlahir dari Kaisar Babur dari India dan ibunya Dildar Begum yang merupakan saudara dari Kaisar kedua Mughal Humayun.
Gulbadan lahir ketika ayahnya berkuasa selama 19 tahun di Kabul, Afghanistan, pada 1923. Sang Ayah telah menguasai Kunduz dan Badakhshan. Pada 1519, wilayah kekuasaannya telah mencapai Bajaur dan Swat serta Qandahar hanya dalam setahun.
Setelah itu, dia memperluas kekuasaan ke seluruh negeri Industan dan menaklukkan seluruh kerajaan di India dan Babur diberi gelar Padhsah. Gulbadan memiliki tiga saudara, satu kakak laki-laki Hindal Mirza dan dua kakak perempuan Gulrang Begum dan Gulchehra Begum.
Sekelumit kisah Gulbadan di antaranya terkait dengan pernikahan Gulbadan yang terjadi pada usia 17 tahun dengan Khizr Khwaja. Khizr merupakan keturunan chagtai Mughal dan penguasa Sayed khwajgan dari Bukhara.
Gulbadan merupakan wanita yang berpendidikan, saleh, berbudaya, dan royal. Dia gemar membaca dan wanita yang sangat dipercaya. Mahir berstrategi perang. Pengamat yang cerdik dan mampu membuat intrik dalam kesepakatan perang.
Sebagai seorang wanita Mughal hidupnya selalu nomaden. Apalagi saat Humayun, kakaknya, mengalami kekalahan perang dan harus turun takhta. Dia wafat dalam usia 80 tahun pada 7 Februari 1603. Seluruh anggota kerajaan turut berdukacita secara mendalam, tak terkecuali sang keponakan, Akbar.