REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hafidz Muftisany
Pemakaman yang mengandung unsur berlebihan dihukumi tidak boleh.
Pemakaman adalah salah satu hak seorang Muslim yang meninggal. Menyelenggarakan jenazah hukumnya fardhu kifayah. Tidak sedikit orang yang sudah berwasiat jika kelak meninggal untuk dikuburkan di tempat-tempat tertentu.
Saat ini salah satu kendala dalam penyelenggaraan jenazah adalah lahan pemakaman. Melihat begitu sulitnya menemukan lahan makam, kini pemakaman mulai dikomersilkan. Ada pelaku usaha yang menyediakan lahan makam khusus laiknya properti. Harganya pun beragam.
Mulai dari lahan kosong untuk dijadikan lahan pemakaman umum hingga satu liang lahat seharga miliaran rupiah lengkap dengan perawatan kelas eksklusif. Kini, pemakaman mewah dengan segudang fasilitas mulai marak. Bagaimana Islam memandang pemakaman mewah tersebut?
Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang makam mewah. Seseorang boleh berwasiat untuk dikuburkan di tempat tertentu sepanjang tidak menyulitkan.
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni juz 3 halaman 443 menegaskan, tidak mengapa seseorang membeli tempat untuk kuburannya dan kemudian berwasiat untuk dikuburkan di tempat tersebut. Hal ini dilakukan oleh Utsman bin Affan, Aisyah, dan Umar bin Abdul Aziz.
Jual beli makam secara umum juga tidak dilarang. Asalkan memenuhi beberapa syarat di antaranya syarat dan rukun jual beli terpenuhi.
Kemudian kavling kuburan tidak bercampur antara Muslim dan non-Muslm, penataan dan pengurusannya dijalankan sesuai dengan ketentuan syariah dan tidak menghalangi hak orang untuk memperoleh pelayanan penguburan.
Terpenting, jual beli tersebut dilakukan dengan prinsip sederhana, tidak mendorong adanya tabdzir(boros), israf (berlebihan), dan perbuatan sia-sia yang memalingkan dari ajaran Islam.
Jika pemakaman tersebut mengandung unsur tabdzir dan israf, baik dari segi luas, harga, fasilitas, maupun nilai bangunan maka hal tersebut dilarang.
Rasulullah SAW menuntunkan agar kuburan setiap Muslim dibuat sederhana. Dalam sebuah hadis dari Abil Hayyaj al-Asadi, ia berkata, “Ali bin Abi Thalib berkata kepada saya: Tidakkah aku menugaskan kepadamu untuk sesuatu yang telah ditugaskan kepadaku oleh Rasulullah SAW. Engkau tidak membiarkan patung kecuali engkau mengubah bentuknya dan tidaklah membiarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau meratakannya.” (HR Muslim).
Dalam hadis lain riwayat Muslim, Rasulullah SAW menegaskan kuburan dilarang untuk diduduki, dilapisi kapur, dan dipasang atap di atasnya.
Larangan berlebih-lebihan ini juga dinisbatkan dalam sebuah hadis dari Malik dari Yahya ibn Sa'id tentang kain kafan. Malik berkata, “Saya memperoleh kabar bahwa Abu Bakar berkata pada Aisyah saat kondisi sakit: Berapa lapis Rasulullah SAW dikafani? Aisyah menjawab: Dengan tiga lapis kain pintal putih. Lantas Abu Bakar berkata: Ambil kain ini. Ia telah terkena minyak za'faran, cucilah kemudian kafani aku dengannya serta dua kain yang lain. Aisyah pun berkata: Apakah ini? Abu Bakar pun menjawab: Orang yang hidup lebih membutuhkan kain yang baru dari pada orang yang mati. Hanya saja ini untuk batas waktu tertentu.” (HR Bukhari).
Imam an-Nawawi dalam kitab Raudlatu al-Thalibin, juz I halaman 623 menerangkan penggunaan kain kafan harus sesuai dengan kondisi si mayit. Namun, tidak boleh berlebihan. Dalam hal ini juga bisa di qiyaskan untuk kuburan.
MUI mengimbau pemerintah harus menyiapkan dan menjamin ketersediaan lahan kuburan bagi warga masyarakat serta pemeliharaannya. Jika lahan pemakaman semakin sempit, sementara tidak ada lahan lain, ada pendapat boleh mengubur jenazah secara bertingkat dalam satu lubang.
Lembaga Fatwa Mesir, Dar Al Ifta, mengeluarkan fatwa membolehkan hal tersebut. Dar Al Ifta menyebut dasar penguburan jenazah adalah dikubur dalam lubang tersendiri.
Ada pengecualian jika lahan kuburan semakin sempit dan keadaan darurat. Dalam riwayat shahih disebutkan bahwa Nabi SAW pernah mengumpulkan dua atau tiga syuhada Perang Uhud dalam satu lubang. Namun, harus dipisahkan antara lubang kubur untuk mayat laki-laki dan perempuan.