REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum tuntasnya masalah jilbab di institusi kepolisian, khususnya polisi wanita (polwan), diyakini bukan karena Polri menolak. Menurut pakar hukum tata negara, Irmanputra Sidin, keinginan penggunaan jilbab itu belum diwujudkan. Untuk itu, sudah saatnya Presiden untuk mengambil alih penyelesaian masalah itu.
"Penggunaan jilbab adalah bagian forum eksternum hak/kebebasan atas keyakinan beragama setiap warga Negara muslimah yang dijamin oleh UUD 1945. Negara tidak bisa melarangnya bahkan menunda keinginaan individu wanita warga Negara, karena merupakan hak fundamental," katanya dalam pernyataan yang diterima Ahad (9/3) dini hari.
Menurutnya, hak atau kebebasan atas beragama dijamin oleh konstitusi sebagai hak individu yang harus dilindungi oleh negara, pemerintah dan setiap orang. Hal itu tercantum dalam Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Hak/kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi ini disadari tidak semata berada dalam dimensi individu namun juga dimensi sosial. Negara harus menggaransi bahwa dalam pelaksanaan kebebasan beragama seseorang, katanya, tidak melukai kebebasan beragama orang lain.
Dikatakannya, polemik penggunaaan jilbab bukan hendak memaksakan adanya aturan yang sifatnya paksaan bahwa seluruh wanita muslim dilingkup Polri harus berjilbab. "Namun, keinginannya adalah adanya payung legalitas bagi muslimah yang ingin menggunakan jilbab sebagai bagian dari keyakinan beragama dalam menjalankan tugas pengabdiannya kepada Negara salah satunya di institusi Polri," jelasnya.
Dalam UUD 1945 juga disebutkan secara tegas di Pasal 28I (4) UUD 1945 bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Seperti diketahui konstitusi juga menegaskan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan.
"Oleh karenanya sebaiknya Presiden mengambil alih masalah ini, karena masalah ini menyangkut hak fundamental warga Negara akan kebebasan dan keyakinan keagamaaannya," katanya.
Penggunaaan jilbab ini sesungguhnya bukan hanya kebutuhan di institusi Polri, kata Irmanputra, namun juga TNI bahkan pegawai negeri sipil atau seluruh lingkup Kepegawaian Negara. Bahkan, sambungnya, termasuk kaum wanita yang bekerja di sektor swasta. Karena itu, untuk mengakhiri polemik jilbab ini, Presiden segera mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) tentang penggunaan Identitas Agama atau jilbab sebagai bagian pakaian seragam, dinas, dalam lingkup Polri, TNI dan PNS, atau apa pun nanti judul PP tersebut.
PP ini bukan hanya untuk institusi Polri namun untuk semua Kepegawaian Negara, yaitu institusi Polri, TNI termasuk Pegawai Negeri Sipil pusat hingga daerah. "PP ini sifatnya self executing, langsung diterapkan tanpa perlu menunggu aturan juknisnya, dan warga Polri, TNI , PNS tentunya langsung memiliki payung hokum yang langsung bisa diterapkan."
Untuk itu, Irmanputra mengusulkan agar Presiden mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendapatkan masukan tentang model jilbab yang sesuai dengan syariah, termasuk Kapolri dan Panglima TNI serta Menteri Pendayagunaaan Aparatur Negara bahkan Komnas HAM.
Dengan PP itu, Irman berpendapat bahwa produk hukum itu tak mengandung risiko konstitusional yang sifatnya mengancam kekuasaan Presiden. "Justru PP ini akan menjadi warisan Pemerintahan SBY sebagai Presiden pertama yang memberikan payung hukum akan pengunaan jilbab sebagai bagian keyakinan beragama di Indonesia."