Ahad 09 Mar 2014 10:37 WIB

Siuman dari Lupa

Pelupa/ilustrasi
Foto: wonderwoman.in
Pelupa/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Husnaini

Telinga kita tentu tidak asing dengan istilah lupa, kondisi tidak ingat keadaan diri atau sekelilingnya. Ada tiga jenis lupa yang dialami manusia. Pertama, lupa hal-hal sepele, seperti lupa makan atau lupa di mana menaruh barang. Lupa jenis ini manusiawi belaka.

Tetapi, ada jenis lupa yang berbahaya. Misalnya, lupa tugas atau tanggung jawab. Dampaknya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga orang lain.

Tentu yang paling berbahaya dan bahkan mengundang azab Allah ialah lupa jenis ketiga, lupa diri dan agama. Kondisi ini menyebabkan manusia turun derajat dari makhluk mulia ke level paling hina.

Sebagaimana diwartakan Allah dalam Alquran sebagai berikut, “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (QS At-Tin [95: 4-5]).

Sungguh mengerikan kita membaca ayat itu. Betapa semakin hari, kita tidak semakin muda. Pertambahan angka umur kita jelas menunjukkan berkurangnya jatah hidup di dunia.

Sebab itu, kita wajib renungkan, adakah nikmat berupa umur ini lebih banyak bermuatan kebaikan atau justru keburukan.

Becermin diri seraya memperbanyak tobat, itulah ajaran yang harus dipraktikkan orang beriman. Introspeksi menjadi sarana mujarab untuk melawan lupa. Sementara, tobat jelas alat pembersih dosa dan kesalahan.

Tobat, menurut ulama, adalah menyadari, menyesali, dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi dosa dan kesalahan serupa. Bukanlah tobat jika satu dari ketiga syarat itu hilang.

Tobat pincang itu disebut sebagai tobat sambal alias kapok lombok. Tobat yang diterima Allah, itulah taubatan nasuha, yang berdampak positif dahsyat pada pelakunya.

Menjalani hidup di era serba digital sungguh tidak mudah. Keluarlah rumah, bacalah koran, lihatlah internet. Betapa jebakan kemaksiatan tersebar di segala penjuru arah. Jika kita tidak ekstrawaspada, bukan mustahil akan terseret ke lumpur dosa.

Karena itu, kita harus mampu memelihara kepekaan dan sensitivitas nurani. Tidak kalah penting, untuk terus berusaha memahami dan mengamalkan doa yang setiap shalat kita baca,” Ya Allah, tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.”

Lupa muncul karena manusia sembrono dalam mengeja kehidupan. Hatinya tidak terjaga sehingga menjadi gelap. Hati yang gelap disebut zulmun (kezaliman) dan pelakunya bernama zalim.

Idenya ialah setiap kebusukan dapat membuat hati manusia menjadi gelap dan mudah lupa. Indikasinya, tidak pernah merasa risih ketika berbuat dosa dan kesalahan. Kejahatan dianggap sebagai kebajikan, perusakan diakui sebagai perbaikan, karena selalu dihisasi setan.

Dalam kondisi demikian, hati tidak lagi nurani tetapi sudah zulmani. “Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu setan)? “Maka sungguh Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki siapa yang Dia kehendaki. Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala yang mereka perbuat.” (QS Fathir [35: 8]).

Tidak susah mendapati sosok-sosok manusia berhati zulmani. Tengoklah para bramacorah negeri ini: pemimpin korup, hakim khianat, politikus busuk, pengusaha licik.

Mereka potret terang penjahat-penjahat kemanusiaan sejati. Dunia ini terbukti babak belur di tangan sekumpulan manusia berhati zulmani itu.

Pantaslah jika Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan peringatan keras kepada mereka. “Katakanlah, 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi [18: 103-104]).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement