Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Mursyid bertugas membimbing memaksimalkkan potensi kecerdasan.
Dalam artikel terdahulu disinggung tiga model pembacaan kitab suci, yaitu pembacaan secara indrawi, pembacaan melalui emotional heart, dan pembacaan melalui spiritual heart. Yang paling spesifik (untuk tidak mengatakan yang paling penting) ialah yang terakhir.
Pembacaan dengan spiritual heart membutuhkan metodologi (baca: spiritual exercise/mujahadah). Tanpa demikian sulit dibayangkan seseorang akan langsung mengakses wilayah yang “tabu” ini.
Bertahun-tahun seseorang mengamalkan mujahadah saja belum tentu bisa menggapai harapan itu, apalagi dengan tanpa melalui usaha seperti itu. Tidak sulit mencari legitimasi metode ini.
Lihat saja Nabi Muhammad SAW dan bandingkan dengan nabi-nabi sebelumnya yang juga akrab dengan gua-gua melaksanakan kontemplasi. Para wali atau orang-orang pilihan Tuhan lainnya juga melakukan hal yang sama.
Untuk menyegarkan kembali ingatan kita pada artikel terdahulu bahwa di dalam ontologi keilmuan Islam, ilmu dibedakan pada dua bagian, yaitu ilmu hushuli dan ilmu hudhuri. Ilmu hushuli ialah ilmu yang diperoleh melalui pemisahan secara diametrikal antara subjek ilmu ('alim) dan objek ilmu (ma'lum).
Subjek ilmu pengetahuan harus berusaha membuat jarak dengan objek ilmu pengetahuan agar ilmu yang diperolehnya lebih objektif dan tidak bias. Sedangkan ilmu hudhuri ialah ilmu yang diperoleh melalui penyatuan (taqabul) antara subjek ilmu dan objek ilmu pengetahuan. Semakin utuh penyatuan keduanya semakin valid pula ilmu pengetahuan itu.
Metode pertama (ilmu hushuli) banyak diterapkan di dalam tradisi keilmuan barat, yang berusaha mengeksploitasi sedemikian dalam objek ilmu pengetahuan itu. Karena itu, objek ilmu pengetahuan harus terbebas dari berbagai aspek ketabuan dan kesakralan.
Segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau sang subjek (dengan menggunakan kekuatan logika) maka di situ tidak ada ilmu pengetahuan. Sedangkan, metode kedua (ilmu hudhuri) harus menghadirkan objek ilmu pengetahuan itu menjadi bagian dari dirinya sendiri (from within) sehingga perolehan ilmu pengetahuan itu lebih merupakan faktor dari dalam diri.
Yang pertama, sifat sang subjek ilmu ada dua macam, kalau bukan pintar ('alim) maka pasti bodoh (jahil). Karena itu, sang subjek yang pintar harus mengajari yang bodoh. Anak didik dianggap bodoh karena itu harus diajari oleh gurunya yang lebih pintar.