Senin 10 Mar 2014 06:38 WIB

Mengenal Istilah Haul (1)

Salah satu perayaan haul di Tanah Air.
Foto: Antara/Syaiful Arif
Salah satu perayaan haul di Tanah Air.

Oleh: Erdy Nasrul

Dalam tradisi masyarakat Indonesia, kegiatan haul sering digelar.

Dalam praktiknya, haul merupakan momentum untuk mengenang seorang tokoh, terutama para ulama yang telah wafat. Lalu, apa hakikat makna haul?

Mengutip buku Peringatan Haul Ditinjau dari Hukum Islam karya KH Hanif Muslih, secara etimologi makna haul berarti satu tahun.

Penggunaan haul dalam istilah bermakna peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya tokoh masyarakat. Mereka adalah alim ulama yang sekaligus pejuang. Kontribusi mereka bagi masyarakat membuat sosok yang selalu diingat sepanjang masa.

Haul bertujuan untuk mengenang jasa orang yang sudah tiada. Seperti, peringatan haul untuk mengenang almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Pondok Pesantren Ciganjur, Yayasan Wahid Hasyim, Jalan Warungsila Nomor 10, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Haul itu juga dihadiri sejumlah kiai, tokoh, dan teman dekat Gus Dur. Para peserta juga datang dari sejumlah pesantren, majelis taklim, dan kalangan umum dari hampir seluruh wilayah di Indonesia. Banyaknya jamaah itu membuat lalu lintas kawasan sekitar Jagakarsa terhambat.

Sebagai dampak dari penyelenggaraan acara tersebut, sepanjang Jalan Warungsila, mulai dari Jalan Moh Kahfi, lalu lintas diberlakukan satu arah.

Adapun para pejabat yang tampak sudah menghadiri haul ke-4 Gus Dur, antara lain, Kapolri (Jend) Sutarman, Akbar Tanjung, mantan ketua umum PBNU Hasyim Muzadi, para duta besar dari negara sahabat, dan ulama.

Haul untuk memperingati tokoh besar, seperti haul Syekh Nawawi al-Bantani. Tiap tahun, acara yang berlangsung di Pondok Pesantren an-Nawawi Tanara, Kabupaten Serang tersebut, dipadati ribuan peziarah.

Peringatan hari wafatnya (haul) ulama besar asal Banten yang lahir di Tanara, Serang, 1230 H atau 1813 Masehi tersebut dirangkai dengan beragam kegiatan sebelumnya, seperti pembacaan riwayat hidup sang tokoh.

Pimpinan Pesantren an-Nawawi KH Ma’ruf Amin mengatakan, Syekh Muhamad Nawawi al-Bantani yang wafat pada 1314 H atau 1897 H di Makkah memiliki semangat yang luar biasa besar untuk mempelajari agama Islam walaupun di Indonesia pada waktu tersebut di bawah penjajahan Belanda sehingga sulit bagi seseorang untuk menempuh pendidikan tinggi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement