REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Kelompok bersenjata di Libya Timur mengancam akan melancarkan peperangan, jika angkatan laut pemerintah menyerang kapal tanker yang mengangkut minyak dari wilayah itu, pada Ahad (9/3). Setiap serangan pada kapal berarti deklarasi perang.
Perdana Menteri gerakan otonomi wilayah Libya Timur memperingatkan, pemerintah untuk tidak mengusik tanker atau mengirim kapal angkatan laut ke perairan Cyrenaica. Dalam pernyataannya, ia menyatakan jika tanker diusik maka penjaga minyak dan revolusioner akan membuat keputusan. Termasuk langkah untuk mendeklarasikan perang.
Para pemberontak ingin kembali ke sistem era Raja Idris. Tahun 1969, Muammar Gaddafi melakukan kudeta untuk menggulingkannya. Di era Idris, pendapatan minyak Libya dibagi ke beberapa daerah di negara tersebut.
Sementara itu, di Tripoli para pekerja di sebuah perusahaan minyak negara di pelabuhan Sidra melakukan aksi pemogokan. Mereka mendesak pemerintah untuk segera bertindak, sebab rekan-rekan mereka bekerja di bawah tekanan para pemberontak bersenjata.
"Kami sangat marah pada apa yang terjadi di Sidra," kata Salah Madari, seorang pekerja minyak di ibu kota. Petugas kontrol pelabuhan ditahan di bawah todongan senjata. Ia menambahkan bahwa orang-orang bersenjata juga telah memaksa nahkoda untuk membawa kapal tanker ke dermaga.
Sebelumnya sebuah kapal tanker berbendera mirip Korea Utara, merapat pada Sabtu(8/3) di pelabuhan Sidra. Harian lokal Al-Wasat mengatakan, kapal bernama Morning Glory itu memuat minyak mentah senilai 36 juta dolar.
Menanggapi hal tersebut, Perdana Menteri Libya Ali Zeidan mengatakan militer akan mengebom kapal bermuatan 37 ribu ton minyak tersebut jika meninggalkan wilayah Libya.
Para pejabat pada Ahad mengatakan, angkatan laut dan milisi pro-pemerintah telah mengirimkan kapal untuk menghentikan Morning Glory keluar dari perairan tersebut. Para pemberontak mengatakan, setiap serangan terhadap tanker berarti deklarasi perang pada mereka.
Eskalasi konflik atas kekayaan minyak negara merupakan tanda kekacauan di Libya. Pemerintah dianggap gagal mengendalikan pejuang, yang kini menentang otoritas Libya.
Para pemberontak, dipimpin oleh mantan komandan anti-Gaddafi, Ibrahim Jathran, yang kini membelot dan memimpin pengunjuk rasa bersenjata. Mereka telah menyita tiga pelabuhan di timur Libya.