Selasa 11 Mar 2014 04:29 WIB

'Pembantaian Ala Sebrenica' di Afrika Tengah Terus Berlanjut

Kelompok organisasi rakyat adi Republik Afrika Tengah berunjuk rasa di Bangui, meminta Prancis mengatasi pemberontakan di sana.
Foto: reuters.com
Kelompok organisasi rakyat adi Republik Afrika Tengah berunjuk rasa di Bangui, meminta Prancis mengatasi pemberontakan di sana.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGUI -- Pertikaian politik di Afrika Tengah (CAR) yang menjurus pada konflik berbau etnis dan agama terus berlanjut.

Dalam artikel 'Christian militias take bloody revenge on Muslims in Central African Republic', Senin (10/3), The Guardian menggambarkan banyak perkampungan yang sebelumnya basis bisnis kaum Muslim mulai ditinggalkan penghuninya.

Apa yang diingatkan oleh Amnesti Internasional mengenai eksodus besar-besaran masyarakat Muslim di sana, kini mulai terbukti.

Milisi Kristen, anti-Balaka, dan pasukan penjaga perdamaian dari Burundi dinilai terlibat dalam pembantaian tersebut.

"Ini terjadi setiap hari," kata Abdouraman Saudi (45) yang telah mengalami kerugian usaha dari konflik ini, dikutip dari The Guardian.

"Jika anda seorang Muslim dan anda berusaha meninggalkan PK5, anda akan mati. Ini seperti penjara."

PK5 merupakan wilayah Muslim yang makmur di ibukota Bangui sebelum adanya konflik. Sementara di kantong komunitas lainnya PK12 masyarakat Muslim yang tersisa mulai berkumpul mempertahankan diri di dalam barikade bata.

Sementara itu pasukan perdamaian PBB dari Prancis dinilai juga tidak membantu.

"Masalah kami adalah Prancis," kata Ibrahim Alawad (55), seorang pengacara setempat. "Mereka itu milisi anti-balaka berkulit putih. Ini seperti Rwanda. Mereka ingin melakukan hal yang sama, tapi kami tidak akan membiarkan mereka."

Politik di CAR terbelah dua antara kelompok anti-Balaka dan Seleka, yang pertama kebanyakan Kristen dan kedua kebanyakan Muslim.

Di barisan anti-Balaka terdapat juga warga Muslim yang bergabung karena merasa menjadi korban pihak Seleka.

"Saya tidak bisa menjelaskan apa yang sedang saya lakukan," kata Ibrahim Amadou (22), seorang anggota anti-Balaka yang keluarganya menjadi korban Selaka.

"Saya bekerja untuk negara. Seorang prajurit adalah prajurit, dia tidak boleh membeberkan rahasia."

Pada awal bulan ini Kepala Perlindungan Warga Sipil UNHCR, PBB, Philippe Lecrec menyebut, Jumat (28/2) pembantaian di CAR merupakan ulangan tragedi kemanusiaan di Sebrenica, Yugoslavia, tahun 1995.

"Kekerasan ini sangat sulit dan situasi masyarakat sangat mengerikan," katanya kepada wartawan di Jenewa.

Pembantaian tahun 1995 terhadap 8.000 pria Muslim dan anak laki-laki di Srebrenica oleh pasukan Serbia Bosnia di depan mata pasukan perdamaian PBB dari Belanda dianggap sebagai kekejaman terburuk di tanah Eropa sejak Perang Dunia II.

Di Republik Afrika Tengah, "pemberangusan etno-religius yang terjadi di bagian barat dan bagian utara negara itu, menargetkan warga Muslim, sangat jelas," kata Leclerc, menjelaskan kekhawatiran yang disuarakan oleh komunitas internasional dalam beberapa pekan terakhir.

"Orang-orang tidak bisa melarikan diri.. Tidak ada jalan keluar dan orang-orang terjebak," katanya kepada AFP dilansir rappler.com dalam artikel 'C.Africa violence reminiscent of Srebrenica: UN'.

sumber : AFP/Rappler.com/The Guardian
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement