REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah
Godaan dunawi bisa menggelapkan mata hati seorang ulama dan berakibat fatal bagi integritas serta moralitasnya.
Tidaklah merusak agama kecuali para pemimpin, ulama, dan pendetanya. (Abdullah bin al-Mubarak, 181 H/797).
Usai peristiwa pengenggelaman Firaun di laut, Nabi Musa AS beserta rombongan dari Bani Israel mengembara. Tibalah Musa bersama puluhan ribu pengikutnya di Kan'an, salah satu wilayah di Syam, kini Suriah.
Mendengar kabar itu, penguasa setempat merasa khawatir dan takut peristiwa kekalahan Firaun akan menimpa mereka juga. Informasi kedatangan Musa itu pun memunculkan keresahan yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat.
Akhirnya, berdasarkan hasil musyawarah, pemerintah setempat memutuskan untuk meminta bantuan Bal'am agar mengalahkan Musa dengan doanya yang terkenal manjur.
“Engkau adalah orang yang doanya makbul maka doakanlah mereka dengan keburukan,” kata delegasi pemerintah kala menghadap Bal'am.
Semula, masih tersimpan moralitas dan keteguhan iman dalam hati Bal'am. Ia menolak permintaan itu. Bahkan, ia sempat marah dan tidak terima.
Sebab, Bal'am paham betul yang bersama Musa adalah Allah beserta malaikat-Nya dan orang-orang beriman. Bagaimana mungkin Bal'am mendoakan nasib buruk menimpa mereka.
Namun, penguasa tidak tinggal diam, mereka menggunakan segala cara untuk membujuk sang ulama. Termasuk, mempergunakan istri Bal'am untuk memuluskan permohonan aneh tersebut.
Sang raja memberikan materi melimpah kepada istri Bal'am. Bujuk rayu dan tipu daya diupayakan istrinya. Hingga suatu ketika, istrinya mogok untuk melayani kebutuhan sehari-hari Bal'am.
Ini membuatnya bertanya-tanya, apa di balik aksi tak biasa yang dilakukan istrinya tersebut. “Lakukanlah apa yang dipinta raja,” kata sang istri.
Di titik inilah, akhirnya hati Bal'am luluh. Gelimang harta dan rayuan istrinya membuat ia menggadaikan segalanya.
Dengan mengendarai keledai kesayangannya, ia berkendara menuju Gunung Husban, lokasi Musa dan rombongan menetap sementara.