Oleh: Nashih Nashrullah
Opsi yang kedua, yakni masturbasi hukumnya boleh mutlak. Pendapat ini merupakan pilihan Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat, Ibn Hazm, Mujahid, Amar bin Dinar, Ibn Juraih, dan Ibn Abbas.
Imam as-Syaukani dalam kitabnya yang berjudul Bulugh al-Muna, membantah ragam alasan kelompok pertama. Ayat ke-5 dan 6 surah al-Mu’minun itu bukan berarti larangan akan masturbasi. Sedang kan, hadis tentang nikah tangan, tidak cukup kuat dijadikan dasar hukum.
Ini mengingat status hadis-hadis tersebut lemah. Anggapan masturbasi mengaburkan maksud pernikahan memang benar. Ini bila konteks masturbasi itu dilakukan oleh seorang istri atau suami. Bila bujang dan lajang, alasan itu kurang tepat.
Pihak yang ketiga, memilih untuk memerinci hukum masturbasi, yakni haram jika tidak mendesak dan boleh dalam kondisi darurat, seperti khawatir berbuat zina, fitnah, dan sakit. Ini merupakan pan dangan sejumlah ulama Mazhab Hanbali dan Hanafi.
Menurut al-Buhuti dalam kitab Syarh al-Muntaha, seorang Muslim atau Muslimah yang bermasturbasi tanpa alasan yang kuat, maka haram hukumnya. Ia bisa dikenakan hukuman berupa takzir. Ini lantaran masturbasi masuk kategori maksiat.
Jika dilakukan karena terpaksa, takut berzina atau jatuh sakit, tak jadi soal. “Bahkan lebih utama,” tulisnya. Ibnu Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim, memiliki pandangan yang sama.
Di pengujung kajiannya, Syekh Salman yang merupakan alumnus Universitas Muhammad bn Sa’ud di Qashim, Arab Saudi, itu mengatakan, opsi yang lebih tepat adalah opsi yang ketiga. Masturbasi boleh dilakukan karena alasan terpaksa, seperti belum mampu menikah dan sudah berusaha puasa, atau lantaran suami berada di luar kota.
Akan tetapi, tetap dengan catatan agar tidak dilakukan secara rutin dan terlalu sering. Hal ini mengingat efek samping dan risiko akibat masturbasi yang melebihi batas. Syekh Salman menyarankan, supaya memperbanyak aktivitas positif untuk mengalihkan dari keinginan masturbasi.
Haram mutlak:
Mazhab Syafii, Maliki, dan salah satu riwayat Hanbali.
Boleh mutlak:
Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat, Ibn Hazm, Mujahid, Amar bin Dinar, Ibn Juraih, dan Ibn Abbas.
Boleh atau haram dengan rincian:
Sejumlah ulama Mazhab Hanbali dan Hanafi.