Selasa 11 Mar 2014 19:12 WIB

Rektor UII Gugat Kewenangan DPR Pilih Anggota KPK dan KY

Rep: heri purwata/ Red: Taufik Rachman
Gedung Mahkamah Konstitusi
Foto: Amin Madani/Republika
Gedung Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid menggugat kewenangan DPR dalam memilih calon anggota Komisi Yudisial (KY) dan calon anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan itu dilakukan bersama dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Sri Hastuti Puspitasari."Praktiknya, pasal-pasal itu mempengaruhi independensi KY dan KPK dalam menentukan siapa yang akan menjadi calon anggota KY dan KPK," kata kuasa hukum pemohon, Zairin Harahap, saat sidang perdana di MK Jakarta, Selasa.

Keduanya menguji Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Zairin menyebutkan Pasal 28 ayat (6) UU KY menyebutkan DPR wajib memilih dan menetapkan tujuh calon anggota paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden.

Sementara Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK menyebutkan DPR wajib memilih dan menetapkan lima calon yang diusulkan presiden dengan perbandingan 1 berbanding 3.

Menurut dia, persetujuan DPR terhadap calon anggota KY pun disebutkan dalam Pasal 71 huruf o UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Jadi kewenangan konstitusional DPR bersifat "persetujuan" bukan "memilih", sehingga Frasa "memilih dan menetapkan" dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY sangat jelas bertentangan dengan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.

"Karena kata 'persetujuan' dan 'memilih' berbeda secara otomatis Pasal 28 ayat (3) huruf c dan Pasa 37 ayat (1) UU KY yang menyebut dalam hal terjadi kekosongan, presiden mengajukan tiga calon pengganti dari jumlah keanggotan yang kosong, juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," katanya.

Dia mengakui kewenangan DPR dalam pemilihan anggota KPK tidak diatur dalam konstitusi, namun faktanya cukup banyak UU yang memberi wewenang DPR untuk terlibat dalam pengisian jabatan publik.

Zairin menyebut pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri yang didasarkan Pasal 13 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dengan mekanisme persetujuan DPR.

"Tetapi, pengajuan calon anggota KY dan KPK dengan metode 3 berbanding 1 yang dapat dimentahkan DPR. Padahal, panitia seleksinya sudah melibatkan tokoh-tokoh berintegritas. UU itu tidak konsisten," katanya.

Dia mengatakan banyaknya UU yang memberi wewenang DPR dalam rekrutmen pejabat publik telah mengakibatkan "pergeseran" fungsi DPR sebagai pembentuk UU dan pengawas pelaksanaan UU alias semi eksekutif.

"Apabila ini tidak diluruskan akan mengganggu pelaksanaan prinsip check and balances. Harusnya, DPR cukup memberi persetujuan seperti rekrutmen Panglima TNI dan Kapolri," kata Zairin.

Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan kata "memilih" dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY dan kata "dipilih" dan frasa "memilih dan menetapkan" dalam Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK sepanjang dimaknai "persetujuan".

Selain itu, frasa sebanyak tiga (tiga) kali dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY harus dimaknai "sebanyak sama dengan". "Frasa 'sebanyak 21' dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai sebanyak tujuh calon," kata Zairin.

Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini akan dipimpin Ketua Majelis Panel Ahmad Fadlil Sumadi didampingi Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar sebagai anggota panel.

Menanggapi permohonan ini, Patrialis Akbar menilai materi permohonan sangat jelas maksud dan persoalan yang dipaparkan, namun belum mengurai kerugian hak konstitusional yang dialami para pemohon, meski sedikit dijelaskan adanya potensial kerugian.

"Kerugian konstitusional belum terlihat, apakah para pemohon pernah gagal menjadi komisioner KY atau KPK atau potensial tadi? Ini harus diuraikan lebih jelas kerugian konstitusionalnya," kata Patrialis.

Dia juga menyarankan agar para pemohon memasukkan Pasal 20A UUD 1945 yang menyangkut fungsi-fungsi DPR. "Saya kira pasal itu penting untuk dijadikan landasan dalam permohonan ini," katanya.

Sedangkan Ahmad Fadli Sumadi juga mempertanyakan kenapa pemohon tidak memasukkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang salah satunya pengabdian kepada masyarakat.

"Bisa saja pengujian UU ini bagian dari kepedulian UII Yogyakarta terhadap persoalan ini sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Majelis panel memberi waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement