REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
Mbah Kasia, begitu kami biasa menyapa. Nenek berusia senja itu hidup sederhana dan sakit-sakitan. Ia tinggal serumah bersama putra dan suaminya, Mbah Molatip, yang renta dan sakit-sakitan pula.
Tidak banyak yang dapat dilakukan, selain bergantung hidup kepada putra semata wayang mereka yang bekerja sebagai kuli serabutan. Jangankan bekerja, bahkan hidup saja bertopang obat.
Selain faktor usia, pasangan kakek-nenek itu memang mengidap berbagai penyakit dalam selama bertahun-tahun. Namun demikian, semangat ibadah mereka luar biasa. Mereka tidak absen shalat jamaah lima waktu di masjid.
Bahkan, ketika Subuh, saya sering mendapati mereka sudah di masjid sejak pukul 03.00 WIB. Ada yang lebih membuat saya merasa malu. Mereka hidup pas-pasan bahkan kekurangan, tetapi kedermawanan menjadi gaya hidup sehari-hari.
Mbah Kasia sering mengantarkan makanan ke rumah. Padahal, makanan itu pemberian dari orang untuk mereka. Kalau saya mempunyai sedikit rezeki dan berbagi dengan mereka, ucapan terima kasih tidak henti-henti disampaikan.
Besok atau lusanya, biasanya mereka membalas dengan memberikan apa saja yang mereka punya untuk anak saya. Subhanallah. Keterbatasan hidup ternyata tidak menghalangi mereka berbuat baik kepada sesama.
Merekalah teladan hidup, hamba-hamba Allah yang tidak fasih mengucapkan dalil agama, tetapi sangat terampil mempraktikkan ajaran agama. Kita yang lebih paham agama dan hidup jauh dari kekurangan, cobalah menengok mereka.
Mereka miskin dan lemah di mata manusia, tetapi kaya dan kuat di mata Allah. Saya berpikir, itulah barangkali yang memunculkan banyak keajaiban terhadap mereka. Misalnya, beberapa tahun lalu, Mbah Kasia divonis dokter hanya bisa bertahan hidup selama enam bulan ke depan.
Itu karena komplikasi jantung akut yang dideritanya. Berbagai pengobatan sudah dijalani. Hanya, ia tidak mampu membayar ongkos operasi sehingga harus pasrah pada nasib. Mbah Kasia akhirnya mengalami kondisi bagai mayat hidup.
Perut membuncit, napas tersengal, dan bicara dengan isyarat. Betapa hebat ujian hidup yang ia alami. Bagi kami mati lebih baik daripada hidup semacam itu. Tetapi, kuasa Allah sungguh mengungguli nalar manusia.
Faktanya, kondisi Mbah Kasia berangsur pulih. Hingga kini, ia masih berkesempatan menghirup udara dunia. Tentang suaminya, Mbah Molatip, lebih mengherankan lagi. Malam itu pukul 21.00 WIB. Kakek berusia kepala delapan ini mendadak sekarat akibat muntah darah.
Darah segar mengalir deras dari hidung dan mulutnya. Akhirnya, ia tidak lagi bergerak dan tidak bernapas selama beberapa menit. Terang saja tangis keluarga pecah. Kami semua yang menunggu mengiranya sudah meninggal.
Mbah Molatip lalu ditidurkan telentang, disedekapkan layaknya orang meninggal. Ya Allah, betapa cepat Engkau mengambil hamba-Mu. Maghrib tadi masih shalat jamaah di masjid, tetapi sekarang telah menghadap-Mu dengan kondisi demikian menyedihkan.
Keluarga lantas meminta saya untuk mengumumkan berita kematiannya di masjid. Saya bergegas menuju masjid. Baru sekian langkah keluar, saya mendengar gemuruh dari dalam rumah. Seseorang berlari mengejar sambil memanggil-manggil nama saya.
“Jangan diumumkan dulu”, katanya. Saya menghentikan langkah dan kembali masuk rumah. Ajaib, kakek yang sehari-hari berjalan dengan bantuan tongkat itu mendadak bergerak-gerak.
Besoknya, Mbah Molatip sudah kembali shalat jamaah Subuh di masjid seperti biasa. Kabar duka baru muncul beberapa waktu lalu. Mbah Molatip telah meninggalkan kita semua.