REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerugian negara atas penjualan gas murah ke Cina dinilai harus ada pihak yang bertanggung jawab. Hal itu dikarenakan Indonesia mengalami kerugian per tahun sekitar Rp 500 triliun.
"Harus ada pihak yang bertangggung jawab atas penjualan gas murah ini selama 25 tahun. Di negara manapun tidak ada yang mengunci mati kontrak harga gas, termasuk di negara komunis sekalipun," ujar pengamat Migas dari Universitas Indonesia (UI) Kurtubi dalam diskusi yang bertajuk 'Stop Penjualan Gas Murah ke Fujian China' di Warung Daun, Jakarta Pusat, Rabu (12/3).
Akibat penjualan gas murah yang tak kunjung dinaikan harganya meski harga gas naik, kata dia, negara mengalami kerugian yang berdampak kepada kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kata dia, pemerintah harus berani membentuk tim independen yang kredibel dengan anggota yang dipercaya masyarakat internasional yang bertugas menginvestigasi proses survei, pembangunan energi tangguh, hingga penjualan gas murah.
"Jika ada pelanggaran hukum, maka dengan rekom ini Indonesia bisa bilang ke Cina, kalau tidak mau beli dengan harga yang kami tetapkan, maka penjualan gas akan dihentikan. Itu caranya kalau mau, dan kalau berani juga," kata caleg dari Partai Nasdem itu.
Di tempat yang sama, Kepala Urusan Komunikasi dan Publikasi SKK Migas Heru Setyadi mengatakan, harus ada kesepakatan antara kedua negara jika ingin mengubah kontrak penjualan gas ke Cina. Karena, menurut dia, tidak mudah untuk mengubah kontrak tersebut.
"Asumsi untuk harga minyak, kita cari yang terbaik untuk negara. Kontrak itu diubah harus dua belah pihak yang sepakat," katanya.
Ketika itu, kata Heru, pemerintah harus segera membuat keputusan. Hal itu dikarenakan jika gas itu tidak dijual ke Cina maka Indonesia tidak akan mendapat untung. "Waktu itu kita mempunyai hubungan baik dengan Cina. Kalau tidak maka Rp 35 triliun itu tidak akan kita nikmati. Tapi sekarang show must go on," tanyanya.