Oleh: Ani Nursalikah
Iringan-iringan kerajaan berjalan perlahan. Pasukan pengawal istana Harun mengenakan seragam yang sangat bagus.
Di tengah-tengah mereka Harun sendiri menunggang kuda dengan baju zirah lengkap. Tubuhnya tegap dan gagah di atas kuda perang putih yang dihias dengan luar biasa.
Disandangkan di bahunya, dengan gaya Islam, adalah "Dzul Faqar" yang masyhur, sebuah pedang bermata dua yang dirampas dalam Perang Badar pada 624 M. Pernah digunakan Nabi sendiri dan diberikan pada menantunya, Ali.
Konon, ia memiliki kekuatan ajaib dan berukirkan kata-kata "la yuqtal Muslim bi al-kafir" yang artinya "seorang Muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir".
Siangnya, Harun mengimami shalat di Masjid Agung kota dan kemudian duduk di hadapan publik di halaman. Para tokoh terkemuka dan orang-orang kebanyakan dipanggil menghadapnya untuk mengucapkan sumpah setia dan menyatakan kegembiraan mereka atas penobatannya.
Di hari berikutnya, dalam resepsi dan sidang resmi istana, khalifah yang baru menunjuk Yahya al-Barmak menjadi wazirnya dan memberinya mandat penuh.
Ketika memberikan stempel kerajaan padanya, Harun menyebutnya dengan penuh penghormatan sebagai 'ayahnya’, sembari berkata, “Ayahku, aku berutang kedudukanku ini pada kebijaksanaanmu. Aku serahkan padamu tanggung jawab atas kesejahteraan rakyatku.”
“Aku ambil tanggung jawab ini dari pundakku dan meletakkannya di pundakmu. Memerintahlah dengan cara yang kau anggap terbaik, angkatlah siapa pun yang kau inginkan dan berhentikan siapa pun yang kau kehendaki.”
Kematian khalifah sebelumnya sekaligus saudaranya, Hadi yang jelas-jelas karena pembunuhan hari itu hanya diketahui sedikit orang dan sama sekali tidak mengurangi kemeriahan dan suasana pesta. Pun laporan mengenai pembunuhan Hadi di kemudian hari tidak menodai kedudukan Harun yang tinggi di mata generasi berikutnya.
Sebagai seorang pengkaji sejarah, Harun sendiri memandang kenaikan dirinya sebagai sebuah contoh keagungan yang telah ditakdirkan. Hal ini diperkuat oleh pengetahuannya tentang Islam dan kebangkitannya yang tampak tidak mungkin.
Siring dia menyelisik wilayah yang diwarisinya, di bawah bimbingan sekelompok guru terpilih dia menyerap kisahnya nan agung dan kejayaan serta kekuasaan kini ada dalam genggamannya.