REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
“Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (QS. al-Baqarah/2: 143).
Dalam ayat tersebut terdapat istilah ummatan wasathan. Kata wasath berarti tengah, pertengahan, moderat, jalan tengah, seimbang antara dua kutub atau dua ekstrim (kanan dan kiri).
Ummatan washatan adalah umat yang bersikap, berpikiran, dan berperilaku moderasi, adil, dan proporsional antara kepentingan material dan spiritual, ketuhanan dan kemanusiaan, masa lalu dan masa depan, akal dan wahyu, individu dan kelompok, realisme dan idealisme, dan orientasi duniawi dan ukhrawi.
Umat yang mengambil jalan tengah berarti tidak kikir dan tidak boros, tidak berlebihan sekaligus tidak berkekurangan.
Semuanya dilakukan secara seimbang, proporsional, dan adil, tidak berat sebelah, dan tidak zhalim. Menurut Ibn Faris, wasath itu menunjukkan arti adil dan pertengahan.
Makna inilah yang dikehendaki ayat 143 surat al-Baqarah tersebut. Sedangkan menurut al-Zubaidi, wasath itu artinya yang paling utama (afdhal) dan pilihan. Demikian pula pendapat Ibn Manzhur dan Fairuzzabadi, wasath berarti paling adil (a’daluhu).
Ketika menafsirkan ayat Ummatan wasathan tersebut, at-Thabari mengartikannya sebagai udulan (umat yang adil) dan khiyar (pilihan).
Umat pilihan adalah umat yang berlaku adil. Ibn Katsir juga menyatakan yang dimaksud ayat 143 al-Baqarah tersebut adalah al-khiyar wa al-ajwad (pilihan dan yang terbaik).
Menurut hadits riwayat al-Bukhari dan Ahmad, ayat tersebut turun berkaitan dengan sabda Nabi Saw yang artinya: “Di hari kiamat kelak Nabi Nuh As. akan dipanggil (Allah) lalu ditanya: “Apakah Engkau telah menyampaikan (wahyu)? Ia lalu menjawab: ya, sudah. Kaumnya lalu dipanggil dan ditanya: “Apakah dia (Nuh) telah menyampaikan kepada kalian?” Mereka menjawab: “Tidak seorang pemberi peringatan pun datang kepada kami.” Lalu Nuh ditanya lagi, “Siapa yang bersaksi kepadamu?” Ia menjawab: “Muhammad dan ummatnya”, lalu turunlah ayat tersebut.
Ada dua sifat utama yang melekat pada ummatan wasathan, yaitu: (1) al-khairiyyah, serba berorientasi yang terbaik, afdal dan adil; dan (2) al-Bainiyyah, pertengahan, moderat, tidak ekstrem kanan dan ekstrim kiri.
Hal ini antara lain dapat dipahami dari ayat: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir; dan pembelanjaannya itu berada di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. al-Furqan/25: 67)
Menurut Ibn Taimiyah, Islam itu agama moderat, jalan tengah. Umat Islam berada di tengah-tengah di kalangan para Nabi dan Rasul, serta orang-orang shalih, tidak berlebih-lebihan.
Seperti orang-orang Nashrani, yang “mereka itu menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan mereka juga mempertuhankan Isa bin Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (QS. At-Taubah/9: 31)
Umat Islam juga umat pertengahan dari berbagai syari’at yang ada. Islam tidak mengharamkan yang halal, dan tidak menghalalkan yang haram, seperti yang sering dilakukan orang-orang Yahudi.
Islam menganjurkan umatnya untuk menikah atau berkeluarga, sementara bagi para pendeta hal ini justeru tidak dibolehkan.
Islam memerintahkan umatnya untuk sami’na wa atha’na kepada Nabi-nya, tetapi orang-orang Yahudi justeru membantah dan membunuh sebagian Nabi mereka.
Ummatan wasathan merupakan prototipe umat yang memiliki dan memegang teguh prinsip. Pertama, prinsip tidak melampaui batas (ghuluww), baik dalam bersikap, bertutur kata, berbuat, termasuk beribadah.
Dalam hal ini Allah berfirman: “Katakanlah, hai Ahli kitab janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam beragama. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad SAW) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka tersesat dari jalan yang benar.” (QS. al-Ma’idah/5: 77).
Kedua, prinsip tidak melakukan hal-hal yang sia-sia belaka, baik perkataan maupun perbuatan. Allah berfirman: “… Dan orang-orang yang memalingkan dari perbuatan sia-sia/lagha” (QS. al-Mukminun: 3). Sabda Nabi: “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia sanggup meninggalkan perbuatan sia-sia yang tidak memberi manfaat sedikitpun.” (HR. Muslim).
Ketiga, prinsip selalu berada dalam al-Shirath al-Mustaqim (jalan yang lurus dan benar). Artinya, ummatan wasathan dituntut untuk selalu berada dalam petunjuk jalan lurus dan benar (Islam) dengan senantiasa mentaati syari’atnya, mengikuti al-Qur’an dan as-sunnah.
Menurut Ibn Taimiyah, jalan lurus dan benar merupakan puncak moderasi karena berada di jalan yang benar berarti berada di tengah-tengah kebenaran, tidak menyimpang, dan tidak pula ekstrim.
Selain itu, Mekkah, tempat lahirnya Islam, terbukti berada di tengah, titik tengah bumi. Islam itu bukan agama liberal, bukan juga sekuler, dan tidak juga ekstrim.
Islam adalah jalan tengah, umat terbaik, berada di antara Yahudi dan Nashrani (yang berada di sebelah utara Mekkah), tidak juga sekuler dan liberal (Barat), dan tidak seperti Hindu dan Budha (selatan, India), dan tidak seperti Konghucu dan Shinto (Timur).
Jadi, ummatan wasathan adalah khaira ummah, umat terbaik yang selalu menyerukan kebaikan dan melarang kemunkaran, dan selalu menjadikan hidupnya penuh keseimbangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat, sekaligus menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lam bish-shawab!