REPUBLIKA.CO.ID, SIMFEROPOL -- Prosesi jalannya jajak pendapat di Krimea berlangsung dengan baik. Tak ada masalah yang mewarnai jalannya referendum pengambilalihan salah satu wilayah di Ukraina itu.
Perdana Menteri Krimea yang pro-Rusia, Sergey Aksyonov mengatakan, proses referendum berjalan kondusif. ''Seperti yang Anda lihat, orang bersuara secara bebas. Tak ada masalah di TPS. Bahkan saya tidak merasa atau melihat adanya tekanan yang tengah berlangsung,'' ujar dia kepada kantor berita Interfax, seperti dikutip dari BBC News, Ahad (16/3).
Jajak pendapat Crimea ini dilangsungkan di sejumlah tempat. Salah satu lokasi jajak pendapat yakni di Sevastopol. Praktis, Sevastopol pada Ahad (16/3) pun menjadi salah satu TPS yang cukup sibuk.
Warga Crimea yang memiliki hak pilihnya pun banyak berkomentar, terkait kegiatan politik yang mungkin akan menjadi momentum paling bersejarah di wilayah itu. Seorang pemilih wanita berusia 66 tahun di Sevastopol menggambarkan, hari referendum ini sebagai hari libur.
''Saya ingin pulang ke Rusia. Sudah sangat lama sekali sejak terakhir saya melihat ibu saya,'' kata dia seraya bernyanyi saat diwawancarai reporter AP.
Akan tetapi, di lain sisi, ada pula orang-orang yang tetap menginginkan Crimea menjadi bagian dari Ukraina. Namun dengan syarat, nantinya Crimea di bawah Ukraina harus jauh lebih baik.
''Menurut pendapat saya, Ukraina harus memiliki otonomi penuh sehingga bisa menjaga keuangannya sendiri. Tidak boleh ada tekanan dari pemerintah. Saya mendukung penuh untuk kemerdekaan,'' ungkap Serhiy Reshetnyk kepada BBC.
Sementara itu, dikutip dari Reuters, Muslim Sunni Turki, etnis Tatar menyerukan hal berbeda dari mayoritas pemilih di Crimea. Etnis ini menyatakan, mereka akan memboikot referendum. Meski etnis Tatar dijanjikan pihak yang berwenang akan mendapatkan bantuan keuangan dan hak tanah, etnis Muslim di Krimea yang mewakili suara hanya 12 persen itu tetap tak setuju adanya jajak pendapat pengambilalihan ini.