REPUBLIKA.CO.ID, SIMFEROPOL -- Mayoritas pemilih dari sebanyak 1,5 juta pemilih di Crimea memilih untuk meninggalkan Ukraina. Suara mereka lebih mendominasi untuk mendukung Rusia.
''Hari ini merupakan hari yang penting bagi semua, baik itu Crimea, Ukraina, dan Rusia,'' ujar seorang pemilih, Manita Meshchina, seperti dikutip dari AP, Ahad (16/3).
''Saya berpikir, mayoritas orang akan memilih 'Ya', yang berarti bahwa orang-orang percaya dan memang berpikir mereka harus bersama Rusia,'' kata dia.
Tak hanya Manita yang menyatakan pendapatnya terkait referendum Krimea hari ini. Seorang pensiunan perwira angkatan laut Soviet, Vladimir Lozovoy pun bergelora saat dimintakan komentarnya.
''Saya ingin menangis. Akhirnya saya kembali ke tanah air saya. Ini adalah perasaan yang luar biasa. Saya telah menunggu hal ini selama 23 tahun dan akhirnya itu terjadi,'' ungkap Lozovoy yang memberikan hak pilihnya di TPS 850097, di Kota Sevastopol itu.
Di TPS ini pun, para pemilih lainnya berteriak semangat usai memberikan suara mereka. ''Selesai. Hore.''
Meski pihak otoritas di Krimea banyak yang lebih mendukung Rusia, namun Menteri Pertahanan Ukraina berpendapat lain. Menteri Pertahanan, Igor Tenyuk mengatakan, bahwa Krimea tetap akan berada di Ukraina. ''Ini adalah tanah kami dan kami tidak akan ke mana-mana dari tanah ini,'' ungkapnya, dalam sebuah wawancara yang diterbitkan Ahad (16/3) oleh kantor berita Interfax.
Tak hanya sang Menteri Pertahanan, jajak pendapat dan referendum Crimea itu pun mendapat penolakan dari Etnis Muslim Tatar. Dikutip dari Reuters, etnis Tatar memilih pemboikotan poling.
Adapun dari dua juta penduduk lokal Krimea, 52 persennya berbangsa Rusia. Etnis Ukraina mencapai 25 persen, sementara Islam mewakili suara 12-15 persen.