REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Israel berencanan mengirimkan solar usai satu-satunya pembangkit listrik di Gaza padam akibat kurangnya bahan bakar. Pengumuman tersebut disampaikan setelah Departemen Pertahanan menutup akses barang menyeberang ke Gaza selatan, Kamis (13/3) lalu.
Pembangkit listrik tersebut adalah sumber utama tenaga listrik di wilayah berpenduduk 1,8 juta jiwa ini. Tanpa pembangkit listrik tersebut, pemadaman diperkirakan bisa berlangsung hingga 12 jam per hari. Sedangkan sumber listrik lainnya di daerah ini berasal dari Mesir dan Israel.
Kekerasan terbaru dimulai setelah Israel menewaskan tiga orang terkait dengan kelompok bersenjata jihad. Pejuang Palestina kemudian menembakkan puluhan roket melintasi perbatasan, meskipun tidak ada yang terluka.
Israel membalas dengan serangan udara, yang juga tidak menimbulkan cedera. Pejabat lantas memerintahkan penutupan terminal, menghentikan semua pengiriman, termasuk bahan bakar. Pembangkit listrik berhenti operasi pada Sabtu.
Sebuah unit yang bertanggung jawab untuk penyeberangan ke Gaza, COGAT menyatakan pengiriman bahan bakar atas perintah Departemen Pertahanan. "Menteri Pertahanan Moshe Yaalon menginstruksikan untuk membuka perbatasan Kerem Shalom untuk mengirim gas ke Jalur Gaza," katanya dalam pernyataan.
Jumlah bahan bakar yang dikirim Ahad sebanyak 500 ribu liter solar dan bensin untuk sektor swasta. Sebanyak 160 ribu ton gas untuk memasak dan 200 ribu liter solar untuk pengoperasian pembangkit listrik di Gaza.
Direktur pembangkit listrik Gaza Rafik Maliha mengatakan kepada Al Jazeera bahan bakar apapun yang datang hanya mencakup penggunaan minimal.
"Ketika pembangkit listrik ini mati total berarti hanya ada enam jam pasokan listrik. Sekarang kami akan memiliki pasokan listrik selama delapan jam," kata Maliha.