Selasa 18 Mar 2014 16:13 WIB

Soal iPod, IKAHI Tunggu Klarifikasi Sekretaris MA

iPod Apple (Ilustrasi)
iPod Apple (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Pusat (PP) Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) belum menentukan sikap terkait pembagian souvenir berupa iPod (peranti musik) seharga 700 ribuan dalam resepsi pernikahan anak Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.

"PP IKAHI masih menunggu klarifikasi dari pihak Bapak Nurhadi," kata Juru Bicara PP IKAHI Syamsul Maarif, saat dikonfirmasi Antara di Jakarta, Selasa (18/3). Sehingga, lanjutnya, pihaknya belum menentukan sikap terkait pembagian "iPod" tersebut.

Resepsi pernikahan anak Sekretaris MA Nurhadi yang digelar di Hotel Mulia Senayan, Sabtu (15/3) telah menjadi sorotan dari beberapa kalangan karena membagikan souvenir "iPod" kepada undangan. Undangan yang mencapai 2.500 ini dari berbagai kalangan khususnya, hakim/hakim agung turut menerima souvenir itu yang dinilai sebagai bentuk pelanggaran etik dan gratifikasi.

Komisioner KY Imam Anshori Saleh menilai pemberian souvenir kepada hakim/agung belum bisa dikatakan sebagai bentuk pelanggaran etik. Namun dia menyarankan agar para hakim dan hakim agung yang menerima iPod segera mengembalikannya kepada Sekretaris MA, Nurhadi, atau melaporkan ke KPK agar tidak timbul persepsi negatif dari masyarakat.

Dalam SKB Ketua MA dan Ketua KY Tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan SK KMA No 215/KMA/SK/XIII/2007 tentang Juklak Pedoman Perilaku Hakim, ada ketentuan yang secara tegas melarang hakim menerima hadiah atau pemberian dari siapapun.

"Karena Nurhadi bukan hakim, saya tidak bisa komentar. Tetapi, bagi para hakim yang menerima iPod itu untuk mengembalilkan souvenir ke Nurhadi atau lapor ke KPK," kata Imam.

Ketentuan larangan menerima hadiah yang nilainya diatas Rp500 ribu ini tertuang dalam SKB Tahun 2009 butir 2.2 jo Pasal 6 ayat (3) huruf q SK KMA No 215/KMA/SK/XIII/2007.

Ketentuan itu berbunyi: "Pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp 500 ribu".

Menurut Imam, pemberian hadiah dalam bentuk souvenir itu dapat diartikan sebagai gratifikasi seperti yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terlebih, SK KMA No 215/KMA/SK/XIII/2007 itu juga melarang hakim menerima hadiah di atas 500 ribu.

"Saya hanya mengimbau para hakim atau hakim agung mengembalikan souvenir atau lapor ke KPK. Sebab, yang bisa menilai itu termasuk gratifikasi atau bukan adalah KPK," kata Imam.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement