REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW-- Presiden Rusia Vladimir Putin pada Selasa (18/3) di hadapan parlemen Rusia mengatakan, akan bergerak maju untuk segera menggabungkan wilayah Crimea, Ukraina, ke Rusia. Putin menentang protes Ukraina dan sanksi-sanksi yang diberikan Barat untuk pemerintahannya.
Dikutip dari Reuters, Selasa (18/3), Putin menandatangani sebuah perintah yang berbunyi penyetujuan rancangan perjanjian antara Federasi Rusia dan Republik Crimea, untuk mengadopsi Crimea menjadi bagian Federasi Rusia. Perintah perjanjian itu pun disepakati bersama-sama dengan pemimpin Crimea yang berada di Moskow.
Pimpinan Crimea yang pro-Rusia itu sangat sepakat atas penggabungan wilayah Crimea ke Moskow. Namun belum ada tanggal pasti terkait kapan resminya penggabungan tersebut.
Di sisi lain, di tengah-tengah masih berlangsungnya pengecaman atas referendum Crimea, Barat sangat berhati-hati dalam langkah praktis pertamanya melawan Moskow. Barat masih menawarkan terbukanya pintu solusi diplomatik kepada pemerintahan Putin itu, meski sanksi-sanksi sudah diberikan kepada Rusia dan Ukraina.
Tak hanya UE, Presiden Barack Obama pun turut menjadi pihak yang ada di garis pertentangan referendum Crimea. Obama bahkan menjatuhkan sanksi terhadap 11 pejabat Rusia dan Ukraina yang dinilai bersalah atas serangan militer di Crimea. Pejabat Ukraina yang dijatuhkan sanksi AS itu yakni sang eks presiden, Viktor Yanukovych. Selain Yanukovych, dua orang kaki tangan Putin pun, Vladislav Surkov dan Sergei Glazyev, turut masuk dalam daftar sanksi AS itu.
Adapun hasil referendum yang menghasilkan 97 persen suara memilih bergabung dengan Rusia kemarin, berdampak pada sektor ekonomi, khususnya pasar saham dan nilai tukar Ruble. Sehari pasca referendum Senin (17/3), dunia saham Rusia tak terlalu terpengaruh.
Sebab, para investor saat itu masih tak ambil pusing atas sanksi UE yang dijatuhkan kepada Moskow. Tetapi, pada Selasa, pasar saham dan nilai Ruble pun turun 0,6 persen terhadap Dolar dan Euro.
Atas dampak negatif yang melanda iklim investasi Rusia itu, badan properti negara Rusia pun menyatakan, bahwa sangat mungkin sampai paruh kedua tahun ini akan ada penundaan penawaran privatisasi skala besar.