REPUBLIKA.CO.ID, NUSANTARA BANDA ACEH -- Sebanyak 24 orang perempuan terjaring razia penegakan syariat Islam petugas Wilayatul Hisbah Provinsi Aceh di kawasan Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Selasa (17/3).
Razia berlangsung selama dua jam sejak pukul 10.00 WIB. Personel kepolisian dan polisi militer ikut dalam kegiatan itu. Petugas menghentikan setiap sepeda motor yang dikendarai perempuan berpakaian ketat maupun mengenakan celana panjang.
Perempuan berkendaraan roda empat dan angkutan umum tak terkena razia. Beberapa perempuan bersepeda motor berhasil menerobos razia personel Wilayatul Hisbah. Bahkan ada yang berbalik arah setelah melibat ada razia syariat Islam.
Kepala Seksi Penegakan Pelanggaran Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Provinsi Aceh Samsuddin mengatakan, selain 24 perempuan, ada seorang lelaki yang terjaring razia.’’Perempuan yang kena razia berpakaian Muslimah tetapi ketat dan bercelana panjang.’’
Sedangkan laki-laki yang terjaring karena menggunakan celana pendek.Menurut Samsuddin, nama-nama mereka dicatat. Kemudian mereka mendapatkan pembinaan di lokasi razia. Setelah itu barulah mereka diperbolehkan pergi.
Bagi mereka yang terkena razia lebih dari dua kali, kata dia, dibawa ke Kantor Satpol PP dan Wilayatul Hisbah Provinsi Aceh. Di tempat tersebut mereka dibina serta baru bisa dilepas setelah dijemput orang tua atau keluarga.
‘’Namun, hingga kini belum ada yang terjaring razia lebih dua kali,’’ kata Samsuddin. Menurut dia, kondisi ini menunjukkan kesadaran masyarakat terhadap syariat Islam semakin meningkat. Indikator meningkatnya kesadaran adalah jumlah orang terjaring razia.
Sebelumnya, baik di Aceh Besar maupun Banda Aceh, mereka yang melanggar syariat Islam mencapai 80-an orang. Namun pada Selasa, menurun dan hanya 25 orang. Di sisi lain, ulama Aceh dituntut terus mencermati perkembangan di masyarakat.
Adanya ketimpangan dan hal yang melenceng dari syariat Islam, mesti ditangani ulama. ‘’Ketegasan ini merupakan peran kontrol ulama dalam menyikap isu-isu sosial kemasyarakatan,’’ kata Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tengku Gazali Mohd Syam.
Menurut dia, ulama jangan hanya berkutat pada masalah pengajian, perayaan seremonial dan sejenisnya. Tapi, harus mampu berperan aktif dalam menyikapi persoalan masyarakat. Kalau hanya di pengajian, ulama tak mampu menangani isu sosial.
Syam pun berharap, ulama berani melayangkan kritik konstruktif. Ini menjadi bagian penting penguatan hubungan antara ulama dan pemerintah. Ia menambahkan, kritik tak selalu berkonotasi kebencian atau ketidaksukaan.