Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Shirath al-mustaqim secara konvensional sering diartikan jalan lurus, yakni mengikuti perintah Allah SWT dan rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
Pengertian ini juga sering kita temukan di dalam tafsir-tafsir mu’tabarah dan kitab-kitab fikih. Ini tentu saja tidak salah, tetapi terlalu abstrak dan mungkin juga terlalu visual sehingga tidak menukik ke dalam batin.
Padahal, jika dilihat ayat sebelumnya, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, di situ ada unsur ta’abbud dan isti’anah, dua kata yang amat sarat dengan makna spiritual sebagaimana telah dibahas dalam artikel terdahulu.
Dalam perspektif tasawuf, jalan lurus (shirath al-mustaqim) tidak berkonotasi jalanan fisik yang lurus (hight way), tetapi lebih kepada jalan hidup yang tidak mengandung banyak risiko.
Lawan dari jalan lurus (mustaqim) di sini mungkin kita bisa meminjam istilah fluktuatif, suatu keadaan yang sangat labil, kadang naik memuncak dan kadang terjun. Jika naik, bawaannya sombong, angkuh, dan egois. Jika turun, bawaannya frustrasi, putus asa, dan nekat.
Analogi penempuh jalan fluktuatif ini ialah orang-orang yang labil. Kalau mendapatkan rezeki, promosi jabatan, dan berbagai keberuntungan lainnya, ia mengalami lonjakan emosi kesenangan dan kebahagiaan, sebagaimana layaknya orang yang mabuk.
Ia merasa seperti segalanya mudah karena uang dan atau kekuasaan berada di tangannya. Keangkuhan, kesombongan, dan egoisme bagian dari gaya hidupnya. Ia mudah sekali mengganti dan melupakan teman-teman lamanya sungguhpun mereka telah banyak membantunya.
Gaya hidupnya berubah total. Mulai dari pakaian, kendaraan, menu dan selera makan, serta properti sangat kontras dengan pengalaman hidup sebelumnya. Bahkan, rasa keagamaannya sudah semakin menipis.
Ia seperti lupa kalau sejarah hidupnya pernah memprihatinkan. Ia tidak lagi merasa sensitif dengan kehidupan di sekitarnya. Serta, mudah sekali menyakiti perasaan orang lain tanpa merasa bersalah.
Akibatnya, tentu saja semakin banyak orang yang kecewa dan tidak respek terhadapnya. Orang yang seperti ini bukan hanya dibenci banyak orang, melainkan juga Allah SWT membencinya. Orang-orang seperti inilah yang disebut al-magdhub (orang-orang yang terbenci).