Oleh: Erdy Nasrul
Cifah belia mengaku awalnya kurang tertarik dengan sekolah agama. Dia hanya berminat pada sekolah umum.
Saat hendak melanjutkan ke perguruan tinggi negeri, dia tidak lulus tes. Sembari mencari informasi perkuliahan, dia menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas di Lamongan.
Dia bercerita, di sebuah pertemuan keluarga besar, dia mendapatkan informasi dibukanya Institut Ilmu Alquran . “Katanya bagus,” ujar Cifah.
Dia kemudian meminta izin ayahnya, Mochammad Sya’roni. Entah mengapa ayahnya langsung memberikan izin, padahal lokasinya di Ciputat, Tangerang Selatan. Ayahnya sempat mengatakan jika ingin kuliah maka lokasi kampus paling jauh adalah Malang, Jawa Timur.
Selama empat tahun dia menjadi mahasiswa IIQ hingga akhirnya menjadi sarjana. Kemudian, dia melanjutkan ke jenjang magister. “Doktornya belum. Masih nyari waktu,” ujar ibu empat anak ini.
Pengalaman belajar di IIQ ini membuat dirinya sadar akan pentingnya Alquran. Dia memahami Alquran sebagai pedoman bagi seluruh manusia. Masyarakat perlu mencintai dan mendalami Alquran agar tidak tersesat dalam hidup. Alquran perlu didalami agar kehidupan menjadi lebih baik baik dari sisi ekonomi, ilmu pengetahuan, dan semua aspek kehidupan.
Semua hal itu membuat dirinya terdorong untuk mendakwahkan pentingnya Alquran kepada masyarakat. “Menjadi sarjana ilmu Alquran membuat saya bersemangat mendakwahkan Alquran,” ujarnya.
Ada beberapa target yang hendak dicapainya dalam berdakwah. Pertama, umat dapat bersemangat membaca Alquran. Mereka terbebas dari buta huruf Alquran. Kemudian, masyarakat dapat memahami kandungan ayat Alquran sehingga dapat menjadikan Alquran sebagai dasar pijakan.
Untuk mendukung kegiatan dakwahnya, Cifah aktif dalam kepengurusan Nahdhatul Ulama (NU) sejak 1990-an. Dia aktif dalam kepengurusan, seperti Ikatan Pelajar Putri NU, Muslimat NU, dan Fatayat NU hingga kini. “NU saya jadikan sarana untuk berdakwah,” katanya.