REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung menilai direksi bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sering menghindari gugatan risiko bisnis yang berindikasi korupsi menggunakan alasan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Saat ini ada kecenderungan bankir menggunakan doktrin business judgement rule sebagai alasan pembenaran ketika mereka dituduh dan dituntut melakukan tindak pidana korupsi.
"Sejatinya, business judgement rule untuk melindungi para direksi bank. Saat ini GCG telah menjadi kata kunci direksi bank untuk menghindari gugatan dari risiko bisnis," ujar Wakil Jaksa Agung D Andhi Nirwanto saat seminar yang bertajuk Perspektif Hukum Penanganan Kredit Macet Pada Bank BUMN dan BUMD, di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu, (19/3).
Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan Peraturan BI (PBI) yang secara spesifik mengatur GCG yang pada dasarnya bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan tata kelola perbankan yang baik untuk menyehatkan industri secara umum. Namun, menurut dia, sebagian pelaku bisnis dan direksi bank banyak yang keliru dalam memahami doktrin business judgement rule secara komprehensif. Doktrin tersebut dijadikan alat untuk menghindarkan pertanggungjawaban pidana dari pelaku bisnis maupun eksekutif bank yang telah melakukan kejahatan.
Ia mengatakan, apabila perilaku yang menyalahgunakan doktrin tersebut masuk ke ranah penanganan perkara korupsi, tidak akan ada pelaku bisnis dan direksi bank yang bisa dipersalahkan. "Pada gilirirannya, hal ini akan mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat," ujar Andhi.
Pada dasarnya, dalam tataran hukum positif di Indonesia, doktrin business judgement rule secara implisit sudah diakomodir di dalam Pasal 92 dan Pasal 97 UU Perseroan Terbatas (PT). Dia menjelaskan, frasa 'itikad baik' pada Pasal 97 ayat (1) mengandung spirit dari doktrin business judgement rule.
"Direksi tidak dapat dipersalahkan atas keputusannya, sepanjang keputusannya tidak ada unsur kepentingan pribadi, diputuskan berdasarkan informasi yang mereka percaya," ujar Andhi.