Rabu 19 Mar 2014 15:47 WIB

Asosiasi Pertambangan Tolak Kenaikan Royalti Batu Bara

Rep: Aldian Wahyu Ramadhan/ Red: Nidia Zuraya
Tambang batu bara
Foto: Antara
Tambang batu bara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menolak rencana kenaikan royalti mineral dan batu bara untuk pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Alasannya, akan banyak IUP yang akan gulung tikar.

Ketua APBI Bob Kamandanu mengatakan, APBI-ICMA, API-IMA dan ASPINDO pada prinsipnya setuju dengan keinginan pemerintah bahwa seharusnya pemerintah mendapatkan porsi yang optimal untuk PNBP dari pertambangan minerba. Namun, situasi dan kondisi niaga batubara tidak memungkinkan. Alasannya, harga batu bara merosot drastis menjadi 72 dolar AS per ton.

Dengan alasan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pertambangan minerba, pemerintah sedang menyusun rancangan PP sebagai revisi PP No 9 Tahun 2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk minerba. Isinya antara lain kenaikan tarif royalti batu bara secara signifikan dari tiga sampai dengan tujuh persen menjadi 10 sampai 13,5 persen.

Bob menerangkan, asosiasi belum dapat menerima rencana pemerintah menaikkan PNBP minerba. Pasalnya, saat ini industri sedang terbebani oleh penurunan harga logam dan batu bara secara signifikan dalam dua tahun terakhir. Hal itu memaksa perusahaan melakukan efisiensi pada semua bidang operasionalnya.

Kebijakan itu akan menaikkan beban usaha lebih besar lagi dan memaksa perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masif pada perusahaan tambang maupun pada perusahaan kontraktor atau para vendor. ''Lebih dari itu perusahaan tambang marginal seperti produsen batu bara dengan kualitas rendah terpaksa menutup operasinya.

Dia menilai, kebijakan menaikkan royalti untuk minerba khususnya pemegang IUP mengindikasikan pemerintah tidak konsisten dengan rencana semula, yaitu mengembangkan industri pertambangan dengan cadangan marginal. Pengenaan tarif royalti yang relatif lebih rendah tersebut pada awalnya dimaksudkan sebagai insentif untuk mendorong investasi pengembangan minerba bersifat marginal.

Sekarang, setelah banyak investor memanfaatkan insentif tersebut dan mulai berinvestasi jangka panjang, pemerintah berencana menghilangkan insentif tersebut. Banyak perusahaan pemegang IUP yang sudah telanjut berinvestasi merasa pemerintah kurang melindungi mereka. Mereka dihadapkan kepada situasi default terhadap institusi keuangan atau perbankan yang menjadi lender-nya.

Bob menyarankan, untuk meningkatkan pendapatan pemerintah, penambangan dan ekspor minerba ilegal harus segera ditindak dan dilenyapkan. Dia mengatakan, perbedaan data ekspor hasil tambang yang dirilis biro pusat statistik (BPS) dengan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 20144 tercata data ekspor yang dirilis BPS lebih besar 66 juta ton yang diindikasikan berasal dari aktivitas ilegal.

APBI, API, dan ASPINDO sependapat bahwa untuk optimalisasi pendapatan negara, royalti dapat dinaikkan jika harga batu bara mencapai 100 dolar AS per ton dan windfall profit tax dapat dikenakan secara progresif untuk setiap kenaikan 10 dolar AS di atas 100 dolar AS.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement