Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Sebaliknya, ada juga orang yang begitu mudah kecewa dan merasa jatuh meluncur. Putus asa dan frustrasi menjadi bagian dari hidupnya.
Ia terlalu mudah tersinggung dan pada akhirnya mudah menyalahkan orang lain. Ia sering merasa semua orang menjauhinya, bahkan ia pun kecewa terhadap Tuhan dan menuduh-Nya tidak adil.
Di mata orang ini tidak pernah ada orang yang benar sekalipun orang-orang terdekatnya sendiri, seperti orang tua dan anak-anaknya. Gaya hidupnya selalu menyendiri dan merasa hidupnya hampa, kering, dan kosong.
Ia selalu merasa kerdil dan dikucilkan, tidak ada lagi optimisme dalam hidupnya. Bahkan, bayangan nekat selalu mendekati dirinya. Rasa takut mati bagi orang ini tipis sekali.
Karena itu, ia mudah mendapatkan rayuan dari orang yang beriktikad buruk, misalnya diajak untuk menempuh jalan pintas menuju surga dengan cara menjadi teroris,yang rela mengorbankan dirinya dan orang-orang lain yang tidak berdosa demi menebus impiannya. Orang-orang seperti inilah yang disebut ad-dhalin (penempuh jalan sesat).
Orang-orang yang mampu mengendalikan diri, baik dalam posisi sedang berada di puncak kesenangan maupun di lembah keterpurukan disebut penempuh jalan lurus (shirath al-mustaqim). Para penempuh jalan lurus, yaitu jalan yang istikamah, konsisten, dan konstan inilah yang disebut jalan kenikmatan (shirath alladzina an’amta ‘alaihim).
Penempuh jalan as-shirath al-mustaqim ialah mereka yang jika dianugerahkan keberuntungan dan kesenangan, bersyukur dengan cara berbagi kesenangan dan kebahagiaan dengan orang lain.
Sungguhpun berada di dalam suasana keberuntungan, ia tetap memelihara perasaan takut (al-khauf) kepada Allah SWT sebab ia selalu sadar jangan sampai keberutungan dan kesenangan hidup justru menjadi ujian paling berat baginya untuk dilulusi.
Ia juga sadar bahwa keberuntungan dan kesenangan pemilik hakikinya hanya Allah SWT. Seberapa banyak harta kekayaan yang dimiliki maka kita hanya sebagai pemilik semu, pemilik sesungguhnya hanya Allah.