Kamis 20 Mar 2014 08:46 WIB

Tangani Serius Kurangnya Guru PAI

Seorang guru sedang mengajar para siswa. (ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Seorang guru sedang mengajar para siswa. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

Ormas Islam seperti Muhammadiyah bisa diminta bantuan.

JAKARTA – Kurangnya guru pendidikan agama Islam (PAI) tak bisa dianggap sepele. Menurut anggota Komisi X DPR Herlini Amran, ini berkaitan erat dengan moralitas siswa. Paling tidak guru PAI untuk SD masih kurang 3.494 orang dan SMP 2.218 orang.

Pemenuhan kebutuhan guru PAI perlu ditangani serius. Ini menjadi faktor penting dalam pendidikan. ‘’Bisa jadi minimnya guru PAI berbanding lurus dengan menurunnya moralitas anak didik,’’ kata Herlini, Rabu (19/3). Ini bukan hal yang enteng.

Kementerian Agama (Kemenag) dituntut segera mencari tahu dan mengevaluasi distribusi guru PAI. Ia meyakini jumlah guru agama sebenarnya cukup jika ada pemetaan jumlah lulusan sarjana agama dari berbagai universitas agama negeri maupun swasta.

Peluang bagi lulusan nonagama untuk menjadi guru agama, lanjut Herlini, juga jangan dipersempit. Tentu saja jika mereka mempunyai kualifikasi. ''Memang harus ada syarat tertentu untuk guru PAI dari lulusan nonagama tetapi buatlah terobosan,'' katanya.

Ia meminta, Kemenag juga bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam pengadaan guru PAI. Sebab, persoalan ini tak dapat diselesaikan sendiri. Harus melibatkan banyak pihak. Selain itu, ia mempertimbangkan bantuan ulama mengatasi kekurangan guru PAI.

Menurut Herlini, mesti ada definisi jelas tentang ulama. Ini untuk menghindari penanganan masalah oleh orang yang tidak tepat. Kalau mau, minta bantuan ke ormas Islam yang memiliki program pendidikan seperti Muhammadiyah dan Ikatan Dai Indonesia (Ikadi).

Solusi sementara yang memungkinkan di antaranya menguatkan, mendukung, dan membimbing kegiatan rohani Islam (rohis) di sekolah. Ia melihat banyak pelajar yang memiliki kapasitas keagamaan lebih baik dari teman sebayanya.

Satukan dan minta mereka menggerakkan kegiatan rohis sehingga memiliki dampak positif bagi teman-temannya.

Pengawasan dan bimbingan sekolah tetap diperlukan. Agar rohis tetap kondusif dan tidak disusupi aliran lain yang tidak sesuai nilai Islam.

Herlini menambahkan, kurikulum PAI sebaiknya ditinjau ulang. ‘’Selama ini PAI menjadi momok bagi siswa karena kurikulumnya kurang menyesuaikan kondisi mereka saat ini,’’ katanya.

Wakil Sekjen MUI Welya Safitri mengungkapkan kekurangan guru PAI seharusnya tidak terjadi. Sebab, perguruan tinggi Islam masih banyak jumlahnya. Ia pun berpandangan kurangngya guru PAI bisa jadi berdampak pada permasalahan akhlak.

Ia memandang perubahan IAIN menjadi UIN turut berperan membuat peminat jurusan tarbiyah (pendidikan) berkurang dan beralih ke  jurusan lain. Alternatifnya, membuka perolehan akta empat untuk lulusan di luar keguruan dan ilmu pendidikan meski ini tak mudah.

Akta empat memuat kualifikasi seorang guru. Jadi hanya lulusan berlatar keguruan dan ilmu pendidikan yang lebih menguasainya. Untuk jangka panjang, pendidikan agama harus dipenuhi oleh guru yang berlatar belakang pendidikan sama.

Sebab, akan berbeda pendidikan agama untuk setiap tingkatan, baik dari keilmuwan maupun penanganan siswa. Menurut Welya, sebenarnya pelibatan dai untuk menangani kekurangan guru PAI bisa dicoba. Hanya saja mesti cermat karena tingkat ilmu dai beragam.

Lagi pula, tidak semua dai bisa mengajar, apalagi untuk tingkat SD dan SMP. ‘’Jika benar-benar dibutuhkan, para dai harus dibekali dulu dengan ilmu pendidikan,’’ ujar Welya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement