REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Negara Republik Indonesia akan mengevaluasi tes psikologis dan tes penggunaan senjata api untuk mengantisipasi penyalahgunaan senjata tersebut dalam bertugas karena faktor psikologis.
"Betul, kita evaluasi dan lakukan tes psikologis dan tes penguasaan senpi," kata Kapolri Jenderal Pol Sutarman kepada Antara di Jakarta, Kamis.
Prosedur penggunaan senjata api telah diatur dalam Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Dalam Perkapolri tersebut, penggunaan senjata api hanya boleh dilakukan ketika dalam menghadapi kejadian luar biasa, membela orang lain terhadap ancaman kematian dan atau luka berat dan mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa.
Selain itu, menahan, mencegah dan menghentikan seseorang yang sedang melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa serta menangani situasi yang membahayakan jiwa di mana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Dalam peraturan tersebut juga diatur untuk dapat menggunakan sejumlah prosedur, cara yang harus ditempuh yakni, administrasi, kemahiran menggunakan senjata hingga tes psikologi dari Dinas Psikologi Mabes Polri.
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol Agus Rianto mengatakan seharusnya tes psikologis bagi pemegang senjata dilakukan enam bulan sekali.
"Tes kejiwaan berkala itu ada, seharusnya dilakukan tiap enam bulan sekali," katanya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane yang mengatakan seharusnya para jajaran polisi terutama di tingkat bawahan pemegang senjata menjalani tes psikologi.
"Artinya tes psikologi secara reguler terhadap polisi pemegang senjata api harus dilakukan dengan serius. Tujuannya agar kasus polisi tembak atasannya tidak terulang," katanya
Menurut dia, tekanan di kota besar Jakarta, penghasilan serta berbagai problematika memicu tekanan psikologis.
"Tekanan psikologi yang berat itu kerap menimbulkan dua hal. Pertama, polisi gampang bunuh diri yang trennya meningkat dari tahun ke tahun). Kedua, polisi gampang kalap dan emosional serta gampang melepaskan tembakan, termasuk kepada rekannya atau atasannya," katanya.
Sebelumnya, AKBP Pamuji diduga tewas tertembak oleh Brigadir Susanto pada Selasa (18/3) sekitar pukul 21.50 WIB di kawasan Polda Metro Jaya.
Kepala Siaga Piket Pelayanan Markas (Yanma) Kompol Suryani mengatakan saksi atau diduga pelaku Susanto telah diamankan.
"Atas kejadian tersebut, saksi atau diduga pelaku Brigadir Susanto telah diamankan oleh piket provost Iptu Amrizal," katanya.
Yani menjelaskan berdasarkan keterangan saksi Komandan Regu (Danru) dua Piket Yanma Polda Metro Jaya, Aiptu Dede Mulyani, sempat terjadi percekcokan antara AKBP Pamuji dengan Brigadir Susanto sebelum insiden penembakan.
Kemudian, lanjut Yani, tidak lama setelah saksi Dede meninggalkan Tempat Kejadian Perkara (TKP), terdengar suara tembakan sebanyak dua kali, dan saksi melihat korban telah terluka.
"Korban langsung menjalani pemeriksaan medis di Bid Dokkes Polda Metro Jaya dan saksi brigadir diamankan di piket provost polda," kata Yani.
Para penyidik Polda Metro Jaya langsung melakukan olah TKP yang dilakukan secara tertutup dan saat ini tidak ada yang diperkenankan masuk dalam lokasi kompleks Polda Metro Jaya.
Sementara, jasad AKBP Pamuji telah dibawa ke Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, setelah korban dinyatakan meninggal dunia.