Jumat 21 Mar 2014 20:26 WIB

Manuskrip Timbuktu Terancam Musnah Disapu Perang (4-habis)

Manuskrip Timbuktu.
Foto: AP Photo
Manuskrip Timbuktu.

Oleh: Ani Nursalikah

Abad ke-16, khususnya saat pemerintahan Askia al-Haji Muhammad (1493-1528), Timbuktu mencapai era emas di bidang politik dan intelektual.

Askia Muhammad adalah pelindung besar para ulama dan sejarawan di kawasan itu. Ta'rikh al-Sudan dan Ta'rikh al-Fattash memuji dia sebagai pemimpin yang saleh dan terpelajar yang mendengarkan nasihat dari para ulama.

Buku selalu menjadi bagian penting dari budaya lokal. Manuskrip dijual dan disalin sejak awal. Di bawah naungan Kekaisaran Songhai (1468-1591), aktivitas intelektual lokal berkembang. Ulama Timbuktu mulai menulis buku-buku mereka sendiri dengan subjek agama dan sekuler, selain komentar tentang karya-karya klasik.

Timbuktu juga merupakan pusat perdagangan buku-buku di abad ke-16. Leo Africanus (al-Hasan bin Muhammad al-Wazzan al-Zayyati) mengatakan, perdagangan buku maju pesat saat ia mengunjungi kota itu di awal abad yang sama.

Naskah-naskah diimpor ke Timbuktu dari Afrika Utara dan Mesir. Para ulama yang berhaji ke Makkah biasanya menyalin naskah yang ada di sana dan di Mesir dalam perjalanan pulang sebagai tambahan koleksi mereka. Di Timbuktu sendiri, industri penyalinan sangat aktif.

Disebutkan, Askia Daoud yang memerintah pada 1548-1583 mendirikan perpustakaan umum di kerajaan. Membentuk perpustakaan pribadi merupakan gairah yang terus hidup, bahkan hingga hari ini.

Salah satu ulama Timbuktu paling terkenal Ahmed Baba (1556-1627) mengatakan, perpustakaan pribadinya dengan koleksi lebih dari 1.600 volume adalah salah satu koleksi kecil di antara para ulama lain.

Era keemasan Timbuktu itu tiba-tiba dihentikan oleh invasi Maroko pada 1591 yang diprakarsai penguasa Sa'dian Maroko, Mawlay Ahmed al-Mansur. Peran Timbuktu sebagai pusat intelektual dan komersial secara bertahap mulai menurun setelah invasi. Ahmed Baba bersama seluruh keluarganya diasingkan ke Maroko (1593-1608). Selain itu, perpustakaannya yang luas juga hancur.

Saat penguasa militer kota memutuskan hubungan dengan Sa'dians karena kematian Ahmed al-Mansur, Timbuktu menjadi negara lemah yang terus dipertahankan. Akibatnya, kota itu dilanda kesulitan parah dalam abad-abad berikutnya dan aktivitas intelektual berkurang jauh.

Kota ini berada di bawah kendali Fulani pada paruh pertama abad ke-19 untuk waktu yang sangat singkat. Lalu, diduduki Prancis pada 1894. Pemerintahan Prancis berlangsung sampai kemerdekaan Mali pada 1960.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement