REPUBLIKA.CO.ID, Orang-orang Nasrani tetap beranggapan bahwa Isa al-Masih telah memberikan kepada murid-muridny—ketika beliau naik ke langit—suatu penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya.
Hal ini disebutkan dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut: "Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itu pun terlepas kelak di sorga."
Alquran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-kata sebagai berikut:
"Katakanlah, apakah kamu mengetahui apa-apa yang Allah telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?"(QS Yunus: 59)
Dan firman Allah juga: "Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (QS an-Nahl: 116)
Dari beberapa ayat dan hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fikih mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan haram, baik dalam kitab-Nya (Alquran) ataupun melalui lidah Rasul-Nya (sunah).
Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firman-Nya: "Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu." (QS al-An'am: 119)
Para ahli fikih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).