REPUBLIKA.CO.ID, Sabtu (22/3) lalu, Lathifa harus mendatangi 15 lokasi untuk bertemu dengan para konstituennya. Ia memang merupakan caleg DPR RI dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) untuk Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta 2 yang meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri.
Republika sempat mengikuti beberapa lokasi yang didatanginya, salah satunya di permukiman padat penduduk di Kelurahan Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat. Kehadiran Lathifa tentu saja memancing keingintahuan warga.
Pasalnya, ia merupakan salah satu dari caleg DPR RI yang paling muda. Dengan usianya yang baru 22 tahun serta penampilan yang bisa dibilang cantik dan menarik, menjadi daya tarik tersendiri baginya. Bapak-bapak yang juga ikut hadir dalam pertemuan pun berseloroh sambil meminta agar Lathifa berdiri dalam memaparkan visi dan misinya.
"Kenalkan Saya Lathifa Marina Al Anshori. Saya pernah tinggal di Mesir selama delapan tahun dan menjadi koresponden di sana. Saya pernah meliput perang dan demonstrasi di Tahrir Square yang kemudian menumbangkan Presiden Mesir sebanyak dua kali," tutur Lathifa yang berdiri di tengah-tengah warga.
Ia melanjutkan lagi ceritanya. Di sela-sela meliput demonstrasi di Tahrir Square itu, ia bertemu dengan salah satu anak muda. Namun, tidak seperti anak muda lainnya yang sedang berteriak menuntut demokrasi dan perubahan dalam aksi unjuk rasa, anak muda yang ia temui malah sedang duduk di sisi lapangan sambil mendengarkan musik melalui earphone yang terhubung dengan telepon seluler di saku jaketnya.
Ia bertanya kepada anak muda ini mengapa tidak ikut serta dalam aksi unjuk rasa di Tahrir Square. Anak muda itu dengan tenang menjawab bahwa perubahan di negaranya lambat laun akan terjadi dan tidak akan terbendung.
Tuntutan perubahan, lanjut si anak muda, tidak harus dengan berteriak. Dia melakukan dengan caranya sendiri, yaitu dengan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. "Maka itu, kehadiran saya di sini untuk mengajak bapak-bapak dan ibu-ibu untuk ikut juga melakukan perubahan," ujar perempuan kelahiran 20 Agustus 1991 ini.
Tak dinyana, warga merespons Lathifa dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dari pertanyaan sederhana seperti apa yang warga Serdang dapatkan jika ia menjadi anggota DPR sampai menanyakan program-program pemerintah, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta nasib Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri yang memprihatinkan.
Ia berupaya menjawab semua pertanyaan dengan jawaban yang mudah dimengerti. Karena memang konsentrasinya di bidang Tenaga Kerja Indonesia (TKI), ia menjelaskan dengan detail terkait masalah-masalah para TKI di luar negeri.
Dalam kesempatan sebelumnya, kepada Republika, Lathifa mengatakan partainya merencanakan ia untuk menjadi anggota DPR RI di Komisi IX yang mengurusi permasalahan TKI di luar negeri. Dengan pengalamannya tinggal selama delapan tahun di Mesir, ia cukup mengerti masalah yang dihadapi para TKI.
Menurut dia, penyebab para TKI bekerja ke luar negeri bermacam-macam, ada yang ingin mendapatkan penghasilan lebih besar sampai alasan klise, yaitu ingin melarikan diri dari keluarganya. Masalahnya ialah sering kali TKI yang dikirim, tidak diikuti dengan bekal keterampilan dan persiapan mental selama bekerja di luar negeri.
Selain itu, kendala bahasa juga tidak dimiliki dengan cukup oleh para TKI. Berdasarkan pengalamannya melihat TKI di negara-negara Timur Tengah, TKI hanya diarahkan untuk mengetahui bahasa Arab semampunya seperti mengucapkan salam.
Dengan melihat langsung kondisi TKI di luar negeri, hal itu yang membuatnya tergerak untuk membantu secara langsung. Ia juga memiliki pengalaman hidup di luar negeri yang tidak mudah karena karakter yang berbeda dengan Indonesia.
Ia juga pernah bekerja di luar negeri, khususnya di Timur Tengah dan merasakan bagaimana dilecehkan di sana. Perasaan senasib dan sepenanggungan inilah yang ia ceritakan saat mengunjungi para TKI di sejumlah negara selama masa kampanye. Setidaknya ada lima negara yang ia kunjungi selama kampanye, yaitu Singapura, Malaysia, Hong Kong, Korea Selatan, dan Yordania.
Jika terpilih menjadi anggota DPR RI, program pertama yang akan ia perjuangkan adalah penghapusan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) dan merevisi pasal yang berkaitan dengan KTKLN dalam UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Selama ia mengunjungi para TKI di luar negeri, keberadaan KTKLN kerap dikeluhkan karena dianggap tidak bermanfaat dan para TKI meminta untuk dihapuskan.
Untuk membuat kartu ini, TKI harus mengeluarkan uang sebesar Rp 300 ribu, akan tetapi asuransi tidak bisa diklaim. Kalaupun bisa diklaim, TKI harus menunjukkan paspor. Sedangkan selama bekerja, paspor dipegang majikan karena ada perjanjian yang rumit dengan biro tenaga kerja.
Lathifa menilai paspor saja sudah cukup tanpa harus adanya KTKLN. Karena dapat disebutkan di dalam paspor bahwa TKI yang memiliki paspor bekerja sebagai buruh migran. Hal ini juga diperkuat di Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang juga menuliskan pekerjaan sebagai buruh migran.
Selain permasalahan KTKLN, isu pemutihan bagi TKI yang telah overstay juga masih menjadi masalah utama. Para TKI ini, ia menambahkan, bukannya ingin berlama-lama di luar negeri. Akan tetapi, sistem pemerintah yang malah membuat para TKI ini tidak bisa kembali ke Indonesia. Ia mencontohkan, banyaknya pintu yang harus dilewati para TKI untuk kembali ke Indonesia yang malah menghabiskan uang para TKI. Apalagi, kecenderungan calo di setiap pintu tersebut, membuat kondisi TKI menjadi semakin terdesak.
“Pemerintah harus membuat moratorium baru dengan BNP2TKI serta negara tujuan TKI. Untuk para TKI yang sudah kembali, diberikan pelatihan kewirausahaan. Saya lihat program pemberdayaan yang dilakukan KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) sudah baik,” kata kontributor Metro TV dan eTV Afrika Selatan di Timur Tengah ini.