Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Sesuatu yang turun (al-tanzil) sekaligus merupakan bentuk “pertolongan” (isti'anah) Allah SWT. Isti'anah adalah bagian dari efek ketaatan dan penyembahan (ta'abbud) seorang hamba terhadap Tuhannya.
Ta'abbud adalah bentuk pendakian (taraqqi) seorang hamba menuju Tuhannya. Dengan taraqqi melalui ta'abbud maka terjadilah tanazul dalam wujud isti'anah, dan isti'anah bisa dalam bentuk ilham, hikmah, atau ta'lim.
Jika seseorang sudah mendapatkan isti'anah atau al-inzal maka peluang bagi yang bersangkutan untuk melakukan pendakian (taraqqi) sudah lebih mudah karena sudah ada (“as-shirath”) yang dirintis. Analoginya ialah tangga lift akan lebih mudah turun-naik melalui jalur yang sudah disiapkan.
Jika seseorang memiliki kemudahan untuk “naik” (taraqqi) maka yang bersangkutan juga biasanya memiliki kemudahan mendapatkan sesuatu yang “turun” (tanazul). Kunci untuk memudahkan taraqqi dan tanazul ialah ta'abbud.
Tegasnya, jika seseorang menghendaki kemudahan mengakses tanazul-taraqqi tidak ada cara lain selain menempuh jalan ta'abbud.
Jalan ta'abbud dalam dunia tasawuf bermacam-macam. Ada jalur umum, yaitu syariat dalam konotasi fikih dan ada jalur khusus yang dalam dunia tasawuf lebih dikenal tarekat (thariqah) atau suluk.
Perbedaan antara keduanya dalam dunia ahlussunnah tidak terlalu jauh. Jalur pertama lebih menekankan aspek formal-logic, sedangkan jalur kedua lebih menekankan aspek hakikat dan atau substansi.
Kedua jalan ini sesungguhnya dapat disinergikan seperti yang diperkenalkan Imam al-Ghazali di dalam magnum opus-nya, Ihya' Ulum al-Din, suatu karya besar yang memadukan pendekatan fikih dan tasawuf terhadap syariat Islam.
Apakah sesuatu yang mengalami proses al-inzal dan at-tanzil sebagaimana yang dibicarakan dalam artikel-artikel terdahulu hanya Alquran? Bagaimana dengan ilham, irfan, hikmah, dan ta’lim?
Apakah hanya para nabi yang bisa mendapatkan sesuatu melalui kedua proses tersebut? Bagaimana dengan para wali, ahli menyepi (khalwat), atau kaum khawash al-khawash?