Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Penentu kapan akan dimulainya shalat bergantung pada keputusan sang sultan yang duduk di sebelah kanan mimbar.
Sang sultan pun akan menunjukkan jarinya ke atas jika menurutnya waktu shalat telah tiba. “Untuk itu, diperlukan seorang pemimpin yang paham agama agar ia tahu kapan waktu shalat mulai,” ujarnya.
Basri juga membuat tulisan menarik dengan judul “Gorontalo dalam Peta Jan M Pluvier” pada 2011. Ia membuat kajian etnohistori berdasarkan interpretasinya pada peta dari buku Historical Atlas of Southeast Asia yang ditulis oleh Pluvier.
Proses masuknya Islam di Gorontalo, berdasarkan atlas ini, berlangsung pada abad ke-16. Jika dilihat rute transmisinya, Islam datang karena adanya jalur perdagangan yang melewati Gorontalo ini.
Ada dua jalur yang bersinggungan dan banyak dilewati oleh pedagang India yang membawa agama Islam. Islam datang dengan dinamis di wilayah ini dan membuat banyak penduduk Gorontalo tertarik memeluk Islam.
Gorontalo tepat berada di persinggungan dua garis perdagangan maritim yang besar pada masa itu. Pertama, jalur dari Makasar yang pada periode 1600 sebagai pusat ekonomi maritim di Sulawesi dan kedua adalah jalur Ternate yang melewati jalur Brunei.
“Kedua jalur ini menemukan titik perjumpaannya tepat di depan wilayah Gorontalo, tepatnya di laut Sulawesi Utara. Kedua jalur ini bertemu di Gorontalo dan langsung berhubungan dengan Selat Malaka,” jelasnya.
Dalam kawasan ini, Kesultanan Sulu di Filipina juga memainkan perannya. Dalam atlas ini, dijelaskan bahwa Islam lebih dulu hadir di Sulu, sekitar 1450. Sedangkan, di Ternate, Islam masuk 1470 dan Makassar 1600.
Dalam atlas ini juga dijelaskan hanya pengaruh kolonial Belanda yang memengaruhi konstruksi dan ekspansi teritorial Gorontalo yang resmi hadir di wilayah ini pada 1679.
Pascaperjanjian Bongaya pada 1667, pengaruh klaim kekuasaan Ternate atas wilayah Sulawesi bagian utara yang berada di kawasan Teluk Tomini berakhir dan secara politik diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda.