REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah menerapkan peringatan kesehatan pada bungkus rokok dengan gambar serta perubahan teks dinilai akan menguras kas para produsen rokok.
Rencana penerapan itu sebagaimana pada Pasal 14 dan Pasal 15 dalam PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas mengakui, metode tersebut (picture warning) akan menguras kas para produsen rokok. “Yang dikhawatirkan adalah produsen rokok kecil yang terbebani biaya produksi bungkus rokok baru,” ujarnya, Senin (24/3) kemarin.
Enny menuturkan, pemasangan foto organ tubuh yang rusak akibat rokok, perlu persiapan matang dari industri rokok Indonesia. Padahal rencananya peraturan ini akan diberlakukan Juni 2014.
Menurutnya, desain dan jenis gambar yang harus dimuat masih belum diputuskan. “Sempat ada wacana gambarnya harus bersifat edukatif dan tidak menyeramkan,” katanya.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng berpendapat dengan ruang 'packaging' yang hampir semua tertutup oleh penerapan peringatan kesehatan bergambar ('graphic health warning'), diduga ada upaya untuk membebani biaya produksi industri rokok melalui ketentuan ini.
“Ada upaya pemerintah (Kemenkes) untuk menutup kesempatan industri rokok sebagai industri legal mensosialisasikan dan mengekspresikan produk yang dilindungi Undang-Undang ini,” tegasnya.
Salamuddin menjelaskan model peringatan bergambar mestinya bertujuan untuk mengedukasi masyarakat dengan gambar yang tidak bersifat verbal, tidak mensimplifikasi dan menggeneralisasi sebab-sebab munculnya penyakit seolah akibat asap rokok.
Adopsi gambar-gambar yang akan ditempelkan pun jika mengacu pada gambar-gambar dari luar negeri akan melanggar etika scientific. “Ini tidak sosiologis dan faktual karena gambar-gambar “korban” akibat tembakau bukan gambar “korban” konsumen rokok yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia,” jelasnya.
Didalam Pasal 15 Ayat 1 PP 109 Tahun 2012 yang menyatakan “Setiap 1 (satu) varian Produk Tembakau wajib dicantumkan gambar dan tulisan peringatan kesehatan yang terdiri atas 5 (lima) jenis yang berbeda, dengan porsi masing-masing 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah setiap varian Produk Tembakaunya”.
Menanggapi ketentuan itu, Salamuddin menilai pengaturan satu merk rokok dengan 5 (lima)varian gambar yang diganti secara periodik akan menyulitkan teknis pencetakan serta menambah biaya, sekaligus menimbulkan keraguan keaslian rokok bagi konsumennya.
Terdapat ambigu dalam penerapan peringatan kesehatan bergambar (graphic health warning) antara level pabrikan besar dan kecil, dimana pabrikan kecil mendapatkan previlage dalam penerapan peringatan kesehatan bergambar. Sehingga prinsip kesehatan tidak terlampaui karena terdapat diskriminasi perlakuan.
“Dengan kondisi ini, PP 109 Tahun 2012 sebetulnya tidak mengatur kesehatan, melainkan mengatur perdagangan tembakau,” kata dia mengakhiri.