REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Filipina dan kelompok gerilyawan Muslim terbesar di negara tersebut menandatangani perjanjian damai setelah 17 tahun ‘berperang’, Kamis (27/3). Selama waktu tersebut, perundingan dan pertempuran berdarah terus berlangsung hingga menewaskan setidaknya 120 ribu orang di pulau selatan Mindanao.
Kesepakatan dibuat oleh Presiden Filipina Benigno Aquino dan Front Pembebasan Islam Moro (FPIM) di istana presiden di ibu kota Manila. ‘’Perjanjian tentang bangsa Moro adalah kemuliaan perjuangan kami,’’ kata ketua FPIM Al Haj Murad Ebrahim saat upacara penandatanganan. Ia mengatakan kini mereka memiliki Tanah Air Muslim.
Perjanjian ini akan membuat pemerintah otonom bangsa Moro bisa membuat anggaran sendiri. Mereka juga akan memiliki kekuatan polisi sendiri. Sebuah badan transisi akan ditempatkan di sana dengan pemilihan lokal yang dijadwalkan pada 2016.
‘’Kami berharap bahwa dengan tujuan tunggal yaitu perdamaian dan pembangunan wilayah, kita akan menembus semua perbedaan, menyatukan semua orang,’’ kata Kepala negosiator pemerintah, Miriam Ferrer kepada Al Jazirah.
Aquino dan Ebrahim menyaksikan penandatanganan perjanjian bersama dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Malaysia bertindak sebagai mediator utama pembicaraan. Lebih dari 500 gerilyawan muslim, pejabat dan diplomat diundang pada acara tersebut.
FPIM telah berjuang untuk penentuan nasib mereka di wilayah selatan Mindanao yang mereka anggap sebagi tanah air leluhur mereka. Dengan perjanjian tersebut, kelompok bersenjata juga mengumumkan kemerdekaannya.
Sebagai bagian dari kesepakatan, FPIM berjanji untuk menyerahkan senjata dari sekitar 10 ribu hingga 15 ribu pejuang pemberontak. Kekuatan mereka dianggap sebagai kekuatan bersenjata paling besar di Asia Tenggara.