REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fernan Rahadi
Tranby College, Baldivis, Australia Barat, Senin (24/3). Siswa sekolah swasta itu khusyuk menikmati pertunjukan seni tari yang ditampilkan siswa SMAN 5 Surabaya. Dari binar mata sejumlah siswa, tergambar rasa takjub melihat seni budaya Indonesia yang beragam.
Tari Gambyong dan Tari Remo merupakan tarian yang ikut ditampilkan siang itu. Seusai pertunjukan sekitar dua jam, siswa Tranby College bertepuk tangan meriah.
‘’Sangat bagus. Kapan-kapan saya ingin mempelajarinya," ujar Kelly, salah satu siswi kelas 12 kepada Republika.
Acara itu bagian dari program Building Relationships through Intercultural Dialogue and Growing Engagement (BRIDGE).
Pertama kali, program ini digagas the Australia-Indonesia Institute (AII) pada tahun 2008, bekerja sama dengan Asia Education Foundation (AEF).
BRIDGE didukung The Myer Foundation dan Pemerintah Australia melalui AusAID. Akan tetapi selanjutnya, SMAN 5 dan Tranby College melanjutkannya dengan inisiatif sendiri. Ini tak hanya berdampak semakin dikenalnya budaya Indonesia di kalangan anak muda Australia.
Lebih jauh, BRIDGE mampu menghilangkan pandangan negatif mereka mengenai Islam. Padahal selama ini, Islam seolah menjadi fobia bagi orang-orang Australia. Michael Peck, alumnus BRIDGE tahun 2010, mengaku awalnya sangat apatis terhadap Islam.
Ia beranggapan, Muslim dimanapun sama seperti yang digambarkan di Timur Tengah. Akan tetapi setelah mengikuti BRIDGE ke Surabaya dan tinggal di sebuah keluarga Muslim, ia baru menyadari tidak semua Muslim persis seperti yang ia pikirkan.
"Islam di Indonesia ternyata sama seperti Kristen di Australia. Terdapat percampuran budaya seperti budaya Kristen meresapi perilaku orang-Australia yang tidak beragama sekalipun," ujar Peck yang sempat belajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Alumnus BRIDGE lainnya, Charlotte Bowen, mengaku sebelumnya merasa aneh dikelilingi perempuan-perempuan berjilbab di SMAN 5 Surabaya. Tapi setelah mengenal lebih dekat, ia beranggapan mereka sama saja dengan remaja perempuan di Australia.
‘’Mereka terlihat cantik saat berjilbab. Saya kira, orang Australia harus membuka harus membuka mata, tidak semua Muslim seperti yang digambarkan negatif oleh media,’’ ujar gadis yang akrab dipanggil Charlie itu.
Vicki Richardson, salah satu pelopor BRIDGE, menuturkan, penting untuk memperbolehkan remaja dari kedua negara berkumpul dalam medium yang mereka sukai. Hal itu dapat mempersempit jurang perbedaan kedua negara serta menentang stereotip.
Guru Bahasa Indonesia Tranby College itu mengungkapkan, sejumlah anak didiknya yang ikut BRIDGE, sekarang tahu tentang kewajiban Muslim seperti shalat lima waktu dan puasa. Bahkan sejumlah anak mengalami perubahan perilaku saat kembali ke Australia.
"Saat pulang mereka berubah menjadi lebih sopan kepada orang yang lebih tua," kata Vicki. Sementara itu guru SMAN 5, Abdul Latif, mengaku para siswanya sangat diuntungkan setelah berpartisipasi dalam program BRIDGE.
Mereka belajar kultur Australia dan masyarakatnya, sekaligus meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Australia dan Indonesia adalah negara tetangga dan keduanya perlu sama-sama belajar mengenai satu sama lain.
‘’Pada akhirnya, keduanya tidak hanya bisa berkomunikasi, namun bisa saling menghargai budaya dan agama satu sama lain,’’ kata Abdul Latif.