REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah
JAKARTA -- Menjadi kota halal. Itulah cita-cita mulia yang ingin digapai beberapa kota di Indonesia, di antaranya, Bogor dan Bandung.
Bagi umat Islam, wacana kota halal tersebut sungguh merupakan kabar yang menggembirakan. Tapi, akankah cita-cita mulia itu terwujud?
Dalam pandangan Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Nasir Zubaidi, pencanangan kota halal masih terlalu jauh. Tapi, bukan berarti hal itu tak mungkin diwujudkan.
"Wacana kota halal harus bertahap dan terukur. Ada tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang," ujarnya saat ditemui di Gedung MUI, Jakarta, Selasa (25/3).
Ia menilai, kota halal merupakan cita-cita yang baik, tapi prosedurnya harus bertahap dan terukur. Nasir justru menganggap lebih penting membuat pusat perbelanjaan halal.
Dengan demikian, semua yang dijual di tempat perbelanjaan tersebut halal, termasuk makanan, minuman dan obat-obatan. Indonesia sendiri sejauh ini belum memiliki tempat perbelanjaan halal.
Nasir menambahkan, kota halal bisa dimulai dari rumah sakit, permukiman, dan tempat perbelanjaan. Sistem ekonomi perbankan juga harus halal.
"Segala sesuatu harus dipikirkan dengan matang agar jangan hanya menjadi slogan kosong. Pemda harus mempunyai latar belakang yang jelas," ujar Nasir.
Mengenai kesiapan pemda dalam membangun kota halal, Nasir mengingatkan, kesiapan itu bukan hanya dari sisi keilmuan, melainkan juga mental dan keterampilan.
Sertifikasi mahal
Terkait wacana kota halal ini, Pemkot Bandung belum bisa merealisasikan cita-cita itu pada tahun ini. Mahalnya biaya sertifikasi halal menjadi alasan utama. Sejauh ini, baru 400 pelaku usaha mikro kecil (UMK) yang difasilitasi untuk mendapat sertifikat halal.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan, bantuan untuk sertifikasi halal bagi UMK di Kota Bandung bukan didasarkan atas jumlah produk atau pelaku usaha yang ada.
Tapi, hal itu disesuaikan dengan jumlah anggaran yang tersedia. "Sertifikasi halal itu mahal," ujar wali kota yang akrab disapa Emil itu kepada Republika, Rabu (26/3).
Dikatakan Emil, bantuan sertifikasi halal akan diberikan kepada pelaku UMK yang mau memprosesnya. Dalam hal ini, pelaku usaha diminta proaktif mendaftarkan produknya untuk diupayakan mendapat bantuan sertifikasi halal oleh pemkot.
Menurut dia, sertifikasi halal, khususnya untuk produk kuliner, sangat penting di Kota Bandung. Sebab, produk kuliner merupakan aspek penting yang berkaitan dengan pariwisata di Kota Kembang.
Emil melihat, keberadaan sertifikat halal akan meningkatkan daya saing suatu produk dengan produk lain. “Kalau nggak ada sertifikat halal, daya saingnya lemah. Wisatawan, khususnya yang Muslim, menjadi ragu untuk membeli," ujarnya.
Kepala Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan Kota Bandung Ema Sumarna menyampaikan data sampai Maret 2014 baru sekitar 400 pelaku UMK yang sudah disertifikasi halal MUI. Itu pun baru komoditas yang parameternya jelas. "Satu sertifikasi saja Rp 1,8 juta," kata dia.
Saat ini, jelas Ema, di Kota Bandung terdapat sekitar 330 ribu usaha mikro kecil menengah (UMKM). Untuk sertifikasi halal, pihaknya akan memprioritaskan usaha mikro. Sedangkan, usaha menengah diimbau untuk melakukan sertifikasi sendiri.
Pihaknya menargetkan lima sampai 10 persen produk UMK bisa tersertifikasi. Jumlah itu dinilai sudah representatif untuk menjadikan Kota Bandung sebagai kota halal. "Sekali lagi, karena memang biaya sertifikasi itu tidak murah.’’