REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR SERI BEGAWAN -- Pemerintah Brunei Darussalam akan melakukan transisi atas hukum pemerintahan ke hukum syariah, termasuk hukum cambuk, pemotongan anggota badan, dan rajam sampai mati.
Sultan Brunei Hassanal Bolkiah telah menyatakan ia ingin memperkenalkan hukum syariah penuh di negara minyak tersebut. Ia mengacuhkan kritik yang muncul atas keputusannya menggunakan hukum baru tersebut.
Keputusan mengenalkan hukum syariah dan hukuman mati telah dikritik oleh lembaga swadaya masyarakat. Mereka menyatakan keputusan itu bertentangan dengan hukum internasional. Keputusan Sultan Brunei ini juga mendapat kritik tajam dari komunitas non-Muslim.
"Selama bertahun-tahun Brunei tidak pernah memperkenalkan hukuman mati. Ini sangat mengejutkan ketika Sultan kembali memberlakukannya," kata Emerlynne Gil dari International Commission of Jurists, seperti dilansir The Independent, Selasa (1/4).
Dua pertiga masyarakat Brunei merupakan Muslim. Negara ini telah memberlakuan hukum syariah dalam sebagian hukumnya, termasuk perkara perdata seperti pernikahan.
Pelanggaran termasuk menghina Nabi Muhammad saw, minum alkohol, hamil di luar nikah dan sodomi. Pelanggar akan dihukum rajam.
"Hal ini dilakukan karena Allah SWT yang telah menciptakan hukum bagi kita. Sehingga kita bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan keadilan," ujar Sultan.
Tidak jelas apa yang memotivasi Sultan Brunei dalam memberlakukan hukum tersebut. Namun dalam pidato pada Februari tersebut Sultan mengklaim sistem monarki absolut adalah 'firewall' yang sangat kuat dan efektif dalam menghadapi tantangan globalisasi.
Aturan baru ini juga akan mengancam pembaptisan bayi non-Muslim. Pasalnya hal ini akan melanggar aturan penyebaran agama kecuali Islam kepada Muslim dan orang yang tidak beragama. Ada tiga tahap hukuman atas pelanggaran ini, termasuk hukuman terberat yaitu hukuman mati. "Tidak akan ada pembaptisan. Kami harus menunggu dan melihat apa yang terjadi," ujar seorang imam Katolik di Brunei, Pastor Robert Leong.