REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Boleh jadi, situasi yang lebih nyaman tampaknya dialami oleh para caleg perempuan incumbent. Seperti diungkapkan Rifqah Annisa anggota DPRD DKI Jakarta periode 2009-2014 dari Partai Keadilan Sejahtera, yang pada pemilu kali ini mencalonkan diri lagi untuk DPRD DKI Jakarta daerah Pemilihan Jakarta Selatan.
Sebagai anggota legislatif, Rifqah sudah memiliki basis jaringan yang kuat dan konstituennya tinggal mempertanyakan saja kinerjanya selama ini. Namun diakui Rifqah tantangan terbesar caleg perempuan dalam bersaing dengan caleg laki-laki adalah di jaringan.
Sejumlah aktifis perempuan mengaku prihatin dengan persoalan klasik yang masih dihadapi caleg perempuan, mengingat Pemilu 2014 ini merupakan penyelenggaraan pemilu ke-3 pasca diterbitkannya aturan kuota 30 persen untuk caleg perempuan.
Titi Sumbung dari Koalisi Perempuan untuk Keadilan dan Demokrasi menunjuk tidak adanya pengkaderan perempuan di partai politik sebagai biang penyebab sejumlah hambatan klasik yang terus dihadapi caleg perempuan selama ini.
Untuk mengubah situasi ini menurut Titi Sumbung, ke depannya partai politik perlu diwajibkan untuk melakukan pengkaderan terhadap perempuan. Dan pintu masuk upaya itu sudah terbuka dengan dimenangkannya gugatan UU perlakuan khusus terhadap perempuan dalam pemerintahan yang diajukan aktifis perempuan ke Mahkamah Konstitusi baru-baru ini.
Namun selama parpol tidak serius melakukan pengkaderan terhadap perempuan, tampaknya citra caleg perempuan di masyarakat sulit berubah.
Mereka sekadar nama dan foto di spanduk kampanye yang bertebaran di jalan, bahkan brosurnya dikirim langsung ke tiap rumah penduduk.