Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar
Menurut Imam al-Ghazali, sesungguhnya semua orang, tanpa dibedakan jenis kelamin dan etniknya, sama-sama memenuhi syarat secara biologis untuk menjadi nabi.
Hanya saja Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para nabi yang jumlahnya terbatas. Allah juga menegaskan hal serupa di dalam ayat:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa’. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS al-Kahfi [18]:110).
Ayat ini cukup tegas dipahami bahwa Nabi (Muhammad) sama saja dengan manusia biasa, mungkin secara software dan hardware. Yang membedakan antara dirinya sebagai Nabi dengan umatnya ialah ia mendapatkan wahyu dari-Nya.
Kehadiran wahyu kepada ibu Nabi Musa (wa auhaina ila umm Musa), menjadikan sejumlah ulama berpendapat bahwa wahyu yang diterima ibunda Musa merupakan wahyu benar sebagaimana diberikan kepada para nabi-Nya. Bahkan, ada yang mengatakan ibu Nabi Musa (Umm Musa) juga adalah seorang nabi (nubuwwah).
Misalnya, Abu Bakr Muhammad bin Mawhab al-Tujibi al-Qabri (406H/1015 M), seorang ulama besar di Andalusia Spanyol. Ia bahkan menunjuk Maryam, ibu Nabi Isa, dan ibu Nabi Musa sebagai salah seorang di antara nabi-nabi perempuan.
Alasannya, secara logika laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba dan khalifah. Dengan demikian, keduanya berhak menjadi nabi.
Secara naqly ia merujuk sejumlah ayat yang menunjukkan adanya wahyu—sebagai prasyarat seseorang dianggap sebagai nabi—diturunkan kepada perempuan salihah, seperti ibu Nabi Musa, “Wa auhaina ila ummi musa”, sebagaimana disebutkan di atas. Di samping itu, para perempuan tersebut didukung keluarbiasaan (mukjizat).
Selain ibu Nabi Musa, Maryam juga dianggap sebagai nabi dengan adanya semacam mukjizat yang diperolehnya dan pengakuannya sebagai perempuan shiddiqah, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Maidah ayat 75, “Wa ummuhu shiddiqah (dan ibunya seorang yang amat benar).” Dalam Tafsir al-Qurthuby, kata shiddiqah untuk menegaskan Maryam bukan sebagai nabi, melainkan seorang yang sungguh-sungguh benar.
Namun demikian, al-Qurthubi juga tidak menafikan adanya ulama yang mengatakan shiddiq sebagai kata lain dari seorang nabi, seperti Nabi Yusuf dinyatakan seorang Nabi dengan istilah shiddiq dalam surah Yusuf ayat 46.