Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar
Kontroversi tentang ada atau tidaknya nabi perempuan yang berkembang luas di Kordoba ketika itu diredam oleh al-Mansur bin Abi Amir yang secara de facto menjadi penguasa di bawah kontrol Bani Umayyah dengan tetap membiarkan adanya kalangan yang mendukung kenabian perempuan.
Namun, tidak berapa lama wacana ini muncul kembali dengan lahirnya seorang ulama sekaliber Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm al-Andalusy (456H/1064M), yang juga mengakui adanya nabi perempuan, sebagaimana bisa dilihat di dalam karya besarnya, Al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’i wa an-Nihal, Juz V dalam sebuah topik khusus, “Kenabian Perempuan” (Nubuwwah al-Mar’ah).
Menurut Ibn Hazm, nubuwwah berasal dari kata inba’, berarti “berita” atau “informasi”. Nabi ialah orang yang memperoleh “informasi” dari Tuhan.
Di antara perempuan yang beruntung ialah istri Nabi Ibrahim diberitahu melalui Jibril bahwa dirinya akan memperoleh anak (QS Hud [11]:71-73), ibu Nabi Musa yang diperintahkan Allah SWT agar meletakkan anaknya di sungai dan diberitahu bahwa anaknya nantinya akan menjadi nabi (QS al-Qashash [28]:7) dan (QS Thaha [20]:38).
Maryam juga diberitahu akan lahirnya seorang bernama Isa dari rahimnya (QS Maryam [19]:17-19, QS al-Maidah [5]:75, dan QS Yusuf [12]:46). Maryam, putra Imran dan ibunda Isa, serta Asiah, putra Muzahim yang juga menjadi istri Firaun diindikasikan pula sebagai nabi, mengingat intensifnya pemberitaan Alquran tentang figur ideal perempuan tersebut.
Menurut Ibn Hazm, yang dimaksud dengan kedua ayat tersebut ialah kerasulan laki-laki, tidak bisa dihubungkan dengan kenabian perempuan. Bagi Ibn Hazam, nabi dan rasul berbeda.
Ibn Hazm mengakui ada nabi perempuan, namun tidak ada rasul dari kalangan perempuan. Mayoritas ulama Sunni secara umum menolak ada perempuan sebagai nabi dan rasul.
Pendapat ini disanggah Abu Muhammad Abdullah al-Ashili (392H/1001M) dengan mengatakan, kata wahyu dalam surah al-Qashash [28]:7 berarti ilham, suatu inspirasi yang Allah berikan kepada manusia-manusia utama yang bukan nabi. Sama dengan mayoritas ulama tafsir, seperti Tafsir Jalalain yang menyatakan makna “Wa auhaina” dengan wahyu bersifat ilham atau penyampaian dalam bentuk mimpi.
Tafsir al-Kasysyaf oleh az-Zamakhsyary juga menyatakan bahwa kata auha pada diri Ummi Musa adalah wahyu melalui perantaraan malaikat, tetapi tidak dalam kapasitasnya sebagai nabiyyah (la ‘ala wajh al-nubuwwah).
Lagi pula kata “auha” juga pernah digunakan Allah kepada serangga lebah (wa auhaina ila an-nahl” (QS an-Nahl [16]:68), yang kemudian diramaikan oleh Ibn Hazm dengan mengangkat salah satu subbab dari bukunya berjudul “Kenabian Binatang” (Nubuwwah al-Bahaim).
Keluarbiasaan sejumlah perempuan, menurut Ibn Hazmn, antara lain, istri Nabi Ibrahim diberitahu melalui Jibril bahwa dirinya akan memperoleh anak (QS Hud [11]:71-73), ibu Nabi Musa yang diperintahkan Allah agar meletakkan anaknya di sungai dan diberitahu bahwa anaknya nanti akan menjadi nabi (QS al-Qashash [28]:7 dan QS Thaha [20]:38), Maryam diberitahu akan lahirnya seorang bernama Isa dari rahimnya (QS Maryam [19]:17-19, QS al-Maidah [5]:75, dan (QS Yusuf [12]:46).